Fenomena dan Perkembangan Dunia wartawan
dengan begitu banyaknya Media setelah “Era Reformasi” semakin marak, apakah menjadi
wartawan harus seorang sarjana jurnalistik? Bisa ya bisa juga tidak, atau belum tentu. Sebab, hanya saja yang
mensyaratkan gelar sarjana jurnalistik saat membuka lowongan kerja bagi
wartawan baru. seperti, media – media besar suratkabar Kompas, Koran
Media Indonesia, majalah Tempo, atau stasiun TV tidak pernah menyebutkan syarat
sarjana jurnalistik; yang penting sarjana, biasanya S1, dari fakultas apapun.
Sebagian besar wartawan media, mulai tingkat reporter hingga redaktur, bukan
sarjana jurnalistik. Titel mereka dari berbagai disiplin ilmu, mulai sarjana
ekonomi hingga sarjana teknik. Sebagian
besar Media di negara-negara barat justru
tidak terlalu peduli dengan embel-embel sarjana. Media raksasa multi-format,
National Geographic [NG], berani membayar puluhan hingga ratusan juta rupiah
untuk satu liputan mendalam yang dikerjakan kontributor — "wartawan lepas" yang tidak terikat sama sekali dengan NG — tanpa
mensyaratkan kontributor harus sarjana dan embel-embel lainnya; yang penting adalah karyanya, bukan deretan
gelar akademisnya (Talenta)
Berikut adalah delapan syarat menjadi
wartawan. Nomor 1 sampai 6 disarikan dari buku Menggebrak dunia wartawan [1993,
Kurniawan Junaedhie] disarikan dan ditambah berdasarkan pengalaman.
1. Tidak alergi terhadap teknologi. Wartawan zaman sekarang harus fasih memakai email untuk mengirim berita, alat perekam suara, kamera foto atau video, dan mencari referensi lewat Internet.
2. Punya naluri-ingin-tahu yang tinggi dan bukan penakut. Lebih bagus lagi kalau bernaluri sebagai detektif. Wartawan sering diancam karena tulisannya, tapi jangan lantas berhenti menulis.
3. Menguasai bahasa. Tentu saja yang terutama adalah bahasaIndonesia .
Penulis sering menemukan wartawan yang tidak mampu menulis secara jelas,
melainkan berputar-putar dengan “bahasa langit”, bahkan beberapa di antaranya
adalah “wartawan senior” yang sudah 20-30 tahun bekerja.
4. Santun dan tahu etika. Karena kerap kita melihat wartawan yang memaksa masuk ke ruangan pejabat dan langsung duduk padahal si pejabat sebenarnya belum bersedia menerima karena masih ada tamu atau pekerjaannya yang lain.Ada juga
wartawan yang mewawancarai narasumber dengan bahasa memaksa, mendesak bagai
polisi. Boleh saja meliput peristiwa seperti demo atau lomba tarik tambang
dengan memakai celana pendek, tapi jangan berkaus oblong saat meliput sidang
pengadilan atau masuk ke kamar kerja gubernur.
5. Disiplin pada waktu. Wartawan tidak boleh menulis berdasarkan mood seperti halnya seniman, karena redaksi dibatasi deadline untuk menerbitkan berita. Sering wartawan-magang gagal diterima karena selalu telat menyetor berita. Bila kau tergantung pada mood, maka pilihlah menjadi wartawan lepas atau bloger.
6. Berwawasan luas. Untuk hal ini, sejak dulu aku sepakat bahwa penulis yang baik harus lebih dulu menjadi pembaca yang baik. Banyak wartawan daerah yang tidak mau membaca media nasional, buku-buku populer, atau mengorek isi Internet; mereka hanya membaca korannya sendiri, itupun cuma untuk melihat “beritaku terbit nggak, nih.”
7. Jujur dan independen. Memangnya ada wartawan yang tidak jujur? Banyak, terutama di daerah. Berita bisa direkayasa sesuai pesanan narasumber. Seratusan orang demo bisa muncul di koran sebagai seribuan orang. Bupati diadukan korupsi, berita yang muncul menjadi “Ada LSM yang ingin membuat rusuh “Instansi ANU”
Memangnya ada wartawan tidak independen? Ini paling banyak, bahkan diJakarta
sekalipun. Harian terbesar Amerika, Washington Post, menetapkan syarat bagi
wartawannya: “Lepaskan dulu jabatanmu di parpol, baru bergabung dengan koran
ini.” Di Daerah, kabupaten lain, Medan , Menado, Bandung , Surabaya
dan provinsi lain, maka dijamin banyak wartawan yang aktif di partai politik.
8. Memperlakukan profesi wartawan bukan semata-mata demi uang. Profesi kuli-tinta sering disandingkan dengan seniman. Ia adalah sosok idealis, yang bekerja tidak melulu karena gaji tinggi. Pengacara bisa saja menolak bekerja kalau kliennya tidak mampu membayar tarif sekian rupiah. Aku sering menemukan wartawan yang tidak mau menulis karena narasumbernya tidak memberikan uang seperti diminta si wartawan.
“Dia minta dua juta supaya beritanya terbit di halaman satu. Aku tidak punya uang sebanyak itu, ya sudah, mending kukasih Rp100 ribu ke wartawan mingguan, terbit di halaman dalam pun tidak apa-apa,” kata seorang anggota DPRD pada Penulis suatu ketika. Jangan kaget bila pejabat dan pengusaha di daerah sering berkata, “Bang, bayar berapa untuk menerbitkan berita jadi headline?” Dan jangan kaget pula bahwa pertanyaan itu justru ditujukan pada wartawan koran-koran harian beroplah besar.
Dari 12 syarat yang tercantum pada buku Kurniawan Junaedhie, tidak ada satu pun menyinggung titel kesarjanaan. Pada 50 lebih buku jurnalisme yang pernah kubaca, titel sarjana jurnalistik juga tidak pernah disebut sebagai salah satu syarat menjadi wartawan. Mungkin bagi orang awam hal ini akan terdengar ganjil. Tapi begitulah yang terjadi di media pers: Yang dicari adalah orang yang mampu menulis, bukan orang yang pernah kuliah jurnalisme.
Jadi, kalau kau adalah seorang sarjana yang baru tamat tapi bukan dari program jurnalistik, anda tetap punya peluang besar jadi wartawan. Lihatlah lowongan di media-media lokal maupun nasional. Bahkan bila kau bukan sarjana, kau pun tetap bisa jadi wartawan, walaupun peluangnya lebih kecil. Pengalaman pribadi Penulis di bawah ini mungkin bisa memberi anda semangat dan inspirasi.
Pada 1982 Penulis memasukkan lamaran ke harian “ANU”, sebagai Pengisi Rubrik Electronik. Penulis tahu bahwa koran itu mensyaratkan sarjana, tapi tetap saja nekat dan jalan terus. Sekretaris redaksi yang menerima berkas lamaranku berkata, “Nanti saya sampaikan, bang, tapi sebenarnya harus sarjana, lho.” dijawab: “Penulis tahu. Tapi sampaikan saja dulu sama Pemred.”
Beberapa hari kemudian Pucuk dicinta Ulampun tiba bertemu dengan pemimpin redaksinya. Sore itu, di kantor redaksi, dia membuka-buka berkas lamaran. Dia memelototi sejumlah contoh Naskah / Artikel nya. “Ini foto-foto jepretanmu sendiri?” katanya, menunjuk beberapa gambar produk rakitan Electronik
“Kami pakai dulu foto ini, ya,” katanya lagi, lalu memanggil tiga orang redaktur, “Bagaimana anak ini menurut kalian? Aku suka, aku ingin dia bekerja di koran kita. Tapi dia bukan sarjana,” katanya
Akhirnya Penulispun diterima, dengan syarat:harus tetap Eksis di Mingguan Rubrik Elektronik. Bahkan tidak lama kemudian, pemred berikutnya, mempromosikan menjadi Tim redaksi.
“”BERFIKIRLAH APA YANG DAPAT SAYA LAKUKAN, JANGAN FIKIRKAN APA YANG DIFIKIR ORANG TENTANG KITA”,,, Apa kata DUNIA…?
1. Tidak alergi terhadap teknologi. Wartawan zaman sekarang harus fasih memakai email untuk mengirim berita, alat perekam suara, kamera foto atau video, dan mencari referensi lewat Internet.
2. Punya naluri-ingin-tahu yang tinggi dan bukan penakut. Lebih bagus lagi kalau bernaluri sebagai detektif. Wartawan sering diancam karena tulisannya, tapi jangan lantas berhenti menulis.
3. Menguasai bahasa. Tentu saja yang terutama adalah bahasa
4. Santun dan tahu etika. Karena kerap kita melihat wartawan yang memaksa masuk ke ruangan pejabat dan langsung duduk padahal si pejabat sebenarnya belum bersedia menerima karena masih ada tamu atau pekerjaannya yang lain.
5. Disiplin pada waktu. Wartawan tidak boleh menulis berdasarkan mood seperti halnya seniman, karena redaksi dibatasi deadline untuk menerbitkan berita. Sering wartawan-magang gagal diterima karena selalu telat menyetor berita. Bila kau tergantung pada mood, maka pilihlah menjadi wartawan lepas atau bloger.
6. Berwawasan luas. Untuk hal ini, sejak dulu aku sepakat bahwa penulis yang baik harus lebih dulu menjadi pembaca yang baik. Banyak wartawan daerah yang tidak mau membaca media nasional, buku-buku populer, atau mengorek isi Internet; mereka hanya membaca korannya sendiri, itupun cuma untuk melihat “beritaku terbit nggak, nih.”
7. Jujur dan independen. Memangnya ada wartawan yang tidak jujur? Banyak, terutama di daerah. Berita bisa direkayasa sesuai pesanan narasumber. Seratusan orang demo bisa muncul di koran sebagai seribuan orang. Bupati diadukan korupsi, berita yang muncul menjadi “Ada LSM yang ingin membuat rusuh “Instansi ANU”
Memangnya ada wartawan tidak independen? Ini paling banyak, bahkan di
8. Memperlakukan profesi wartawan bukan semata-mata demi uang. Profesi kuli-tinta sering disandingkan dengan seniman. Ia adalah sosok idealis, yang bekerja tidak melulu karena gaji tinggi. Pengacara bisa saja menolak bekerja kalau kliennya tidak mampu membayar tarif sekian rupiah. Aku sering menemukan wartawan yang tidak mau menulis karena narasumbernya tidak memberikan uang seperti diminta si wartawan.
“Dia minta dua juta supaya beritanya terbit di halaman satu. Aku tidak punya uang sebanyak itu, ya sudah, mending kukasih Rp100 ribu ke wartawan mingguan, terbit di halaman dalam pun tidak apa-apa,” kata seorang anggota DPRD pada Penulis suatu ketika. Jangan kaget bila pejabat dan pengusaha di daerah sering berkata, “Bang, bayar berapa untuk menerbitkan berita jadi headline?” Dan jangan kaget pula bahwa pertanyaan itu justru ditujukan pada wartawan koran-koran harian beroplah besar.
Dari 12 syarat yang tercantum pada buku Kurniawan Junaedhie, tidak ada satu pun menyinggung titel kesarjanaan. Pada 50 lebih buku jurnalisme yang pernah kubaca, titel sarjana jurnalistik juga tidak pernah disebut sebagai salah satu syarat menjadi wartawan. Mungkin bagi orang awam hal ini akan terdengar ganjil. Tapi begitulah yang terjadi di media pers: Yang dicari adalah orang yang mampu menulis, bukan orang yang pernah kuliah jurnalisme.
Jadi, kalau kau adalah seorang sarjana yang baru tamat tapi bukan dari program jurnalistik, anda tetap punya peluang besar jadi wartawan. Lihatlah lowongan di media-media lokal maupun nasional. Bahkan bila kau bukan sarjana, kau pun tetap bisa jadi wartawan, walaupun peluangnya lebih kecil. Pengalaman pribadi Penulis di bawah ini mungkin bisa memberi anda semangat dan inspirasi.
Pada 1982 Penulis memasukkan lamaran ke harian “ANU”, sebagai Pengisi Rubrik Electronik. Penulis tahu bahwa koran itu mensyaratkan sarjana, tapi tetap saja nekat dan jalan terus. Sekretaris redaksi yang menerima berkas lamaranku berkata, “Nanti saya sampaikan, bang, tapi sebenarnya harus sarjana, lho.” dijawab: “Penulis tahu. Tapi sampaikan saja dulu sama Pemred.”
Beberapa hari kemudian Pucuk dicinta Ulampun tiba bertemu dengan pemimpin redaksinya. Sore itu, di kantor redaksi, dia membuka-buka berkas lamaran. Dia memelototi sejumlah contoh Naskah / Artikel nya. “Ini foto-foto jepretanmu sendiri?” katanya, menunjuk beberapa gambar produk rakitan Electronik
“Kami pakai dulu foto ini, ya,” katanya lagi, lalu memanggil tiga orang redaktur, “Bagaimana anak ini menurut kalian? Aku suka, aku ingin dia bekerja di koran kita. Tapi dia bukan sarjana,” katanya
Akhirnya Penulispun diterima, dengan syarat:harus tetap Eksis di Mingguan Rubrik Elektronik. Bahkan tidak lama kemudian, pemred berikutnya, mempromosikan menjadi Tim redaksi.
“”BERFIKIRLAH APA YANG DAPAT SAYA LAKUKAN, JANGAN FIKIRKAN APA YANG DIFIKIR ORANG TENTANG KITA”,,, Apa kata DUNIA…?
Semoga sedikit tulisan / Artikel ini dapat
bermanfaat bagi Rekan-rekan
(Terinspirasi dari Ed-Community,
sehingga tertuang seperti ini- Wapemred Hukum & HAM)
Memilih untuk berprofesi sebagai jurnalis saat ini pada dasarnya sarat dilema, karena banyak sekali oknum wartawan yang merusak citranya sendiri, hal ini disebabkan oknum tersebut tidak memahami amanat yang ada dalam UU No 40 Tahun 1999, ironis ada juga yang berasal dari kalangan yang telah lulus UKW.
Jadi jurnalis sebenarnya sangat mudah namun itu tentu saja setelah memahami UU di atas dan mempelajari kode etik pers,setelah itu wartawan bisa berprilaku ibarat siswa sekolah dasar yang bertanya kepada gurunya (dalam hal ini narasumber).
Saya juga sangat pesimis terkait independensi seorang jurnalis disebabkan pembiayaan pada perusahaan pers tersebut bersumber dari segala penjuru, yang ada adalah jurnalis pura-pura independen.
Untuk lebih independen dan berwibawa seyogyanya kehidupan jurnalis harus lebih dipertegas, namun memang adalah dilema yang sangat besar di NKRI, karena ketika tenaga liputannya idealis, maka yang akan bermain adalah jajaran redaksinya, hingga wartawan yang idealis tersebut terpaksa hengkang dari perusahaan pers itu.
Bahkan ada perusahaan pers yang sedang beroperasi di tempat saya, Pimpinan Umumnya tidak memahami sedikitpun terkait UU No 40 Tahun 1999 dan Etika Jurnalistik, hingga kerap terjadi pemaksaan pemuatan berita meski berita tersebut cenderung mengarah kepada delik pers.
Semoga kehidupan pers lebih bermartabat pada masa mendatang, maaf saat ini sangat banyak oknum yang tidak memiliki wawasan alif profesi menjadi jurnalis, ironis mereka juga terkadang menepuk dada bahwa "saya ini adalah wartawan senior"
Salam Saya. Defrianto Tanius Pimpinan Redaksi wwww.merahputih-online.com (085211483555)