PRAKTEK
PERADILAN PERDATA
Pendahuluan
Dalam era reformasi dan dan situasi krisis
moneter yang sekarang ini terjadi
membuat banyak perusahaan maupun bank-bank menjadi tak berdaya. Bahkan
banyak diantara menjadi bangkrut
sehingga timbul berbagai macam perkara.
Dengan
banyaknya perkara yang timbul akibat situasi tersebut disatu sisi memberikan
banyak pekerjaan bagi para ahli hukum, salah satunya yang bergerak sebagai
Pengacara litigasi. Namun untuk menjadi Pengacara yang tangguh
dalam bidang perdata diperlukan
pengalaman dan keahlian diantaranya adalah dalam membuat gugatan atau
menganalisa suatu gugatan yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu
Gugatan atau Jawaban. Kadangkala walaupun pokok perkaranya benar namun bila
cara membuat gugatannya tidak tepat atau keliru, maka hal itu akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah
jalan. Demikian pula dalam kasus tertentu
bila tidak dapat memberikan analisa
hukum yang tepat atau keliru sehingga dalam membuat Gugatan atau
Jawabannya tidak sempurna atau keliru maka hal ini tentunya merugikan kepentingan klien. Untuk itu diperlukan
pemantapan keahlian yang harus dimiliki
sebelum terjun di bidang litigasi di
Pengadilan.
Untuk menanggulangi hal tersebut maka diperlukan pendalaman pemahaman
terhadap masalah-masalah dasar yang akan sering dijumpai dalam melakukan
praktek beracara perdata di Pengadilan .
Pemahaman mengenai bagaimana bila akan
beracara (perdata) di Pengadilan baik
itu dalam kaitan gugat menggugat biasa atau dalam Pengadilan Niaga adalah
sangat penting sekali. Pemahaman yang benar akan dapat memberikan jalan keluar
atau “problem solving” atas masalah yang diserahkan oleh klien untuk dicarikan
jalan keluarnya tersebut. Kadangkala
Pengacara Litigasi dapat berperan sebagai Kuasa Tergugat yang harus
mampu mengaplikasikan pengetahuan hukum perdatanya baik dari aspek acaranya
(formil) maupun dari aspek hukum perdata
materiilnya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena
kesempurnaan dalam membuat suatu
Jawaban dapat menggagalkan suatu guatan
dari lawannya. Karenanya tidak ada salahnya kita untuk mempelajari kembali
masalah-masalah ini sebagai suatu “refreshing” semasa kuliah dulu sekaligus
untuk dapat dijadikan sebagai salah satu pegangan dalam menerapkan ilmunya dalam
praktek khususnya dalam Praktek Hukum Perdata.
Pendahuluan
Dalam setiap beracara di Pengadilan
maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya mewakili, maka setiap pihak yang
mewakili salah satu pihak harus dapat menunjukkan keabsahannya dalam mewakili
tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan dalam suatu surat pelimpahan yang dikenal dengan sebutan
Surat Kuasa.
Surat Kuasa dilihat dari bentuknya
dikenal dua macam yaitu Kuasa yang diberikan secara lisan dan Surat Kuasa yang
diberikan secara tertulis.
Kuasa secara lisan diatur dalam HIR
dimana seseorang dapat secara lisan memberikan kuasanya kepada pihak lain
dihadapan Hakim yang dilakukan di depan persidangan. Walaupun kuasa dapat
diberikan secara lisan namun dalam praktek
hal tersebut jarang dilakukan , tentu saja hal tersebut akan menyulitkan
terutama terhadap pihak yang menerima kuasa, karena tidak ada bukti autentik.
Disamping itu juga tidak ada jaminan
kepastian hukum baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa, dan karena
tidak ada batasan kewenangan mengenai apa yang dikuasakan maka hal itu
merupakan bibit konflik persengketaan dikemudian hari bagi pihak yang merasa
dirugikan.
Karena hal-hal tersebut diatas maka guna
menghindari adanya perselisihan mengenai batasan apa yang dikuasakan orang pada
umumnya lebih menyukai surat
kuasa diberikan dalam bentuk tertulis. Surat Kuasa secara tertulis ini sifat
pelimpahannya dapat dilakukan secara umum [1]
dan dapat dibuat dalam pelimpahan yang sifatnya khusus. Adapun pembuatan Surat
Kuasa ini dapat dilakukan secara dibawah tangan atau dilakukan didepan Notaris.
Dalam hal-hal tertentu adakalanya seorang kuasa/ penerima kuasa lebih menyukai
pemebrian kuasa ini dilakukan di depan Notaris atau menjadi suaatu akte yang
autentik. Dengan dibuatnya kuasa di depan Notaris tersebut selain mempunayi
kekuatan bukti yang sempurna juga pihak [pemberi kauas tidak mudah untuk
mencabut kuasa tersebut, terutama bila pihak penerima kuasa merasa keberatan
serta tidak menyetujui pencabutan tersebut. Bila surat
kuasa diberikan dibawah tangan maka pencabutannya dapat mudah dilakukan, salah
satu caranya adalah dengan mengirim pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis Hakim
yang memeriksa perkara tersebut dimana tembusannya diberikan kepada penerima
kuasa. Namun bila pemberian surat
kuasa dilakukan di depan Notaris maka pencabutannya tidak dapat dilakukan
dengan pencabutan hanya kepda Notaris dan tembusanya kepada penerima kuasa
saja. Bila penerima kuasa tidak setuju maka pencabutannya harus dilakukan
dengan suatau gugatan di Pengadilan. Dalam praktek hal ino jarang terjadi
karena si pemberi kuasa tersebut dalam waktu bersamaan akan mengahdapi satu
masalah lagi disamping masalah yang diserahkan kepada penerima kuasanya
tersebut.
Maka diharapkan
dengan bentuk tertulis jelas dan tegas hal-hal apa saja yang diberikan
dalam suatu surat kuasa.
Dengan demikian semakin menjadi jelas
batasan hak yang dikuasakan baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa
sendiri. Pemberi kuasa tak dapat menuntut terhadap hal-hal yang tidak
dikuasakan, sedangkan penerima kuasa juga tak dapat melakukan kuasa melebihi
kuasa yang diberikan.
Bila hal ini
terjadi maka pihak yang dirugikan dapat menuntut kepada penerima kuasa secara
pribadi kepada penerima kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan penerima kuasa
yang tidak dikuasakan tersebut menjadi batal demi hukum.
Dalam kaitan ini
yang akan diuraikan adalah mengenai surat
kuasa yang dipakai dalan praktek baik di Pengadilan-Pengadilan, Kepolisian
maupun Kejaksaan. Surat Kuasa (khusus)
perlu dicermati dengan baik karena kesalahan atau kekeliruan dalam
pembuatan surat
kuasa tersebut akan membuat batal demi hukum apa yang telah dikuasakan
tersebut.[2]
Kekeliruan dalam
pembuatan surat
kuasa( khusus) yang tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materiil akan
membuat gugatan yang diajukan menjadi batal atau dinyatakan tak dapat diterima
oleh Pengadilan.
Bahkan ada dalam perkara kepailitan dimana Penasehat Hukumnya begitu
yakin akan keabsahan Surat kuasanya
sehingga dalam permohonan pailit yang diajukannya baik di tingkat Pengadilan
Niaga maupun kasasi di Mahkamah Agung
ternyata hanya melulu membahas dan lebih menekankan pada keabsahan
suarat kuasa (khusus) yang dibuat tersebut, walaupun pada akhirnya dua
permohonan pailitnya akhirnya kandas ditengah jalan dimana Mahkamah Agung
menyatakan permohonan pailit yang
diajukan tak dapat diterima karena tidak dipenuhinya persyaratan keabsahan yang
telah ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.( Putusan No.
09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999).[3]
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
putusannya tertanggal 16 Desember 1986 No. 2339/K/Pdt/1985 telah membatalkan
putusan judeks fakti yaitu putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 6 November
1984 No. 398/Pdt/1984 yang isinya memperkuat putusan Pengadilan Negri Jakarta
Pusat tanggal 31 Januari 19784 No.
516.1983/G yang menyatakan gugatan Penggugat tak dapat diterima.
Adapun
pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut antara lain menilai judeks
fakti telah salah menerapkan hukum.
Dan bahwa pasal
123 HIR tidak diwajibkan adanya penyebutan dengan tegas nama Pengadilan Negri
hukum mana gugatan harus diajukan.[4]
Walaupun dalam pasal 123 HIR tidak
diatur secara spesifik mengenai perincian hal-hal apa yang harus dimuat dalam
suatu suirat kuasa (khusus)namun dalam pembuatan Surat kuasa (khusus) sekurang-kurangnya harus
memuat:[5]
1.
Nama para pihak, subjek (identitas);
2.
Pokok Sengketa atau obyek sengketa
3.
Nama Pengadilan
4.
Apa berlaku juga untuk banding/kasasi
Ad.1 Nama Para Pihak
Untuk menentukan
para pihak dalam pembuatan surat kuasa juga
sangat penting sekali, karena kekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak
memberi kuasa dalam suatu surat
kuasa juga dapat membuat gugatan menjadi kandas ditengah jalan. Kekekeliruan
dalam menentukan siapa yang berhak
bertindak memberi kuasa terutama bila pemberi kuasa itu suatu badan
hukum akan menimbulkan masalah dalam gugatan.
Seperti putusan
Mahkamah Agung terhadap gugatan tanah adat terhadap Gubenur Kepala daerah Irian
Barat (sekarang papua) ternyata dal;am tingkat Peninjauan Kembali putusan
kasasi yang memenangkan penggugat seorang warga negara tersebut dibatalkan
karena ada kesalahan dalam menentukan subjek siapa yang harus digugat. Padahal
proses gugatan itu telah berlangsung lebih dari lima tahun, maka hal ini sungguh ironis
sekali.
Mengenai tidak
dipenuhi keabsahan surat
kuasa khusus dapat membuat kandas suatu gugatan. Pihak yang bertanggung jawab
dalam membuat surat kuasa khusus tentunya adalah
pengacaranya, kekeliruan dalam membuat surat
kuasa yang tidak sesuai dengan keketntuan dalam pasal 123 ayat(1) HIR juga
dapat mengakibatkan tidak diterimanya suatu gugatan. [6]
Agar tidak terjadi
kekeliruan dalam hal siapa yang berwenang memberikan kuasa maka dalam hal ini
perlu diperhatian hal-hal sebagai berikut :
a.
Apakah pemberi kuasa merupakan orang perorangan ?
Apabila yang memberikan orang perorangan (persoonlijke)
maka hal-hal yang seyogyanya diperhatikan adalah si pemberi kuasa termasuk dalam pengertian cakap hukum
diantaranya dia adalah pemilik barang yang disengketakan, tidak hilang ingatan,
tidak berada dalam pengampuan/curatele. Bila pada waktu proses gugatan berjalan
pemberi kuasa meninggal dunia dan ternyata tidak ada persetujuan dari semua
ahli waris untuk melajutkan gugatan maka gugatan dapat gugur.[7]
b.
Apakah pemberi kuasa merupakan kumpulan orang-orang yang
tidak berbadan hukum atau yang berbadan hukum ?
Seperti kita
ketahui bersama bahwa pemberi kuasa dapat merupakan suatu kumpulan orang –orang
namun tidak berbadan hukum seperti
Persekutuan Perdata (matschaap), Firma dan Naamloze Vennoschap/CV.
Bentuk persekutuan perdata banyak kita jumpai pada praktek dokter bersama, law
firm (kantor hukum) .
Pada bentuk persekutuan perdata maupun firma maka yang
berhak memberi kuasa adalah mereka para
sekutu yang tercantum dalam akta pendirian persekutuan tersebut. Sedangkan pada CV maka pemberi kuasa adalah sekutu
komanditer.
Apabila
pemberi kuasa berbentuk suatu badan hukum maka harus dibedakan antara
badan hukum yang berlatar belakang ketentuan sebagian hukum publik dan sebagian
hukum privat dalam hal ini hukum perdata, juga ada badan hukum yang murni
tunduk dan diatur dalam ketentuan hukum perdata.
Mengenai badan
hukum publik yang juga terikat dengan ketentuan hukum perdata diantaranya
adalah Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan maka pihak
yang dapat memberi kuasa masing-masing adalah
Kepala Jawatan untuk
Perusahaan
Jawatan, Direksi Perum untuk Perusahaan Umum dan Direksi Perseroan untuk
Perusahaan Perseroan.
Sedangkan untuk badan hukum lain yang murni tunduk pada
hukum perdata adalah Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi dan Dana Pensiun.
Untuk Persroan Terbatas dibedakan anatara PT Tertutup dan PT Terbuka. Sedang
pada PT Terbuka yaitu PT yang telah melakukan go public masih tregantung pada
para pemegang sahamnya sehingga dapat berupa Penanaman Modal Asing, Penanaman
Modal Dalam Negeri atau yang bergerak dibidang Perbankan.
Karenanya dalam
mencermati siapa yang berhak dalam memberikan kuasa tergantung dari anggaran
dasar PT tersebut yang tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Perseroan
Terbatas saja tapi juga memperhatian ketentuan yang diatur dalan peraturan
perundangan pasar modal, Perbankan.
Seperti
misalnya dalam perbankan maka bila bank tersebut masih sehat maka pihak yang
dapat memberikan kuasa adalah direksi
yang ditunjuk dalam anggaran dasarnya. Namun bila bank tersebut telah diambil
alih oleh Pemerintah karena dianggap tidak sehat lagi maka sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1998 Direksi tidak dapat memberi kuasa kepada
pihak lain sebelum ada persetujuan dari pihak BPPN.
Hal ini pernah terjadi dalam perkara permohonan kepailitan
dimana pihak kuasa hukum tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan baru yang
telah berkembang serhingga dalam permohonan pailit yang dilakukan tidak
memperoleh sasaran artinya permohonan pailitnya kandas ditengah jalan karena
syarat formil dalam suatu suarat kuasa khusus
yaitu siapa yang berwenang dalam memberikan kuasa tidak diperhatikan. .(
Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999
tertanggal 11 Mei 1999).[8]
Sedangkan
Penerima Kuasa disini adalah mereka yang telah menjadi Sarjana Hukum dan telah
mempunyai ijin beracara baik yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setempat
yang dikenal dengan Pengacara atau yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yang
dikenal sebagai Penasehat hukum atau Advokat. Untuk Pengacara yang perijinannya
dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setemapat setelah memenuhi persyaratan
tertentu maka Pengacara yang dapat ijin tersebut hanya dapat beracara di
Pengadilan Tinggi setempat. Bila beracara diwilayah Pengadilan Tinggi lain
kadang-kadang dapat juga tapi dengan ijin insidentiil dari Pengadilan Tinggi
tersebut. Namun dalam praktek kebijaksanaan tersebut tidak merata, karena ada
Pengadilan Tinggi yang dapat memberikan ijin insidentiil tapi ada yang tidak
dapat.
Namun ijin praktek Pengacara sesuai dengan surat edaran Mahkamah
Agung hanya dapat beracara di wilayah Pengadilan Tinggi setempat saja.
Untuk Penasehat Hukum dimana perijinannya diberikan oleh
Menteri Kehakiman(dulu) dengan melalui persetujuan dari Mahkamah Agung lebih
dulu dengan memenuhi persyaratan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi setempat
maka barulah ijin diberikan.
Ijin ini berlaku di seluruh wilayah Indonesia . Namun bila praktek di Pengadilan
Tinggi diluar wilayah Pengadilan Tinggi yang menjadi domisili Penasehat hukum
tersebut maka sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Penasehat hukum
tersebut hanya cukup memberitahukan rencana beracaranya saja diwilayah
Pengadilan Tinggi yang dituju tersebut dengan beberapa tembusannya.
Dalam praktek
Penerima Kuasa dapat lebih dari satu orang, karenanya dalam Surat Kuasa
tersebut para Penerima Kuasa yang
namanya tercantum harus menandatangani surat
kuasa tersebut.
Konsekwensinya adalah dalam membuat gugatan bila sebagai
Penggugat atau membuat Jawaban sebagai
Terrgugat maka para Penerima Kuasa
seluruhnya harus menandatangani surat-surat tersebut .
Kadang-kadang sering dalam praktek salah satu penerima
kuasa sedang menghadiri persidangan di luar kota
tentunya penandatangan surat
tersebut tidak dapat ditunda karena jadwal persidangan telah ditentukan.
Maka untuk
menghindari hal tersebut dalam surat
kuasa pada kolom penerima kuasa harus dimasukkan klausul, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sebagai
penerima kuasa. Dengan dimasukannya klausul tersebut maka bila ada salah satu
atau lebih penerima kuasa tidak dapat menandatangani baik itu gugatan atau
Jawaban karena sedang berada di luar kota , maka
penandatangan surat
tersebut cukup oleh salah satu penerima kuasa saja.
Ad.b. Obyek gugatan
Kemudian obyek dari gugatan juga harus ditentukan dan
dituliskan dalam kolom khusus tersebut misalnya apakah gugatan itu berkaitan
dengan wan prestasi atau cidera janji ataukah berkaitan dengan perbuatan
melawan hukum.
Dalam praktek mengenai banyaknya kasus sungguh bervariasi
misalnya ada perkara yang berkaitan dengan penyerobotan, sewa menyewa, sengketa
hak milik, kredit macet dan sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan dalam persengketaan yang dianggap
merugikan hak perdata salah satu pihak terdiri dari dua hal sebagaimana diatas
yaitu cidera janji/wan prestasi dan perbuatan melawan hukum. Suatu perkara
dianggap merupakan suatu sengketa wan prestasi bila ada salah satu pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain. Hubungan hukum antara para pihak biasanya
dibuat secara tertulis lebih dulu. Sehingga bila ada hal-hal yang dilanggar
sebagaimana yang telah tertuang dalam perjajian itu maka terhadap sengketa ini
termasuk sebagai sengketa wan prestasi/cidera janji. Sedangkan bila anatara
para pihak tidak ada hubungan hukum seperti suatu perjanjian dinatara mereka,
namun kemudian ada pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak dan kemudian
dianggap merugikan hak perdata pihak lain dimana pelanggaran itu dianggap
tindakan yang melanggar peraturan hukum yang berlaku maka terhadap sengketa ini
termasuk sebagai sengketa perbuatan melawan hukum.
Ad.c. Nama Pengadilan
Pada kolom khusus ini maka pengisian hak-hak apa saja yang
dimasukkan harus benar benar diperhatikan, apakah dalam hal ini sebagai
Penggugat atau sebagai Tergugat juga harus ditegaskan. Demikian pula juga harus
diperhatikan bila sebagai Penggugat maka untuk menentukan di pengadilan mana
gugatan ini akan diajukan ini juga penting. Karena salah menentukan pengadilan
akan timbul bermacam-macam eksepsi baik yang merupakan eksepsi yang absolut
atau eksepsi yang relatif atau mungkin berkaitan dengan eksepsi-eksepsi yang
berkaitan dengan pokok perkara. Untuk menentukan di pengadilan mana gugatan ini
diajukan biasanya mengacu pada dua hal yaitu ketentuan pada pasal 118 HIR bila
para pihak tidak mencantumkan secara khusus dalam suatu perjanjian yang telah
disepakati. Namun bila para pihak yang bersengketa telah menyepakati dalam
perjanjian diantara mereka adanya ketentuan yang mengatur mengenai tempat
penyelesaian misalnya di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka walau para pihak tidak berada diwilayah
di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka gugatan tetap diiajukan di Pengadilan
Negri Jakarta Pusat. Akan tetapi bila diantara para pihak yang bersengketa
tidak ada perjanjian tertulis tentang penyelesaian bila terja di sengketa maka
gugatannya diajukan dengan mengacu pada pasal 118 HIR.
Kemudian pada tahap berikutnya adalah menentukan siapa saja
para pihak yang akan digugat. Untuk menentukan para Tergugat juga kadang
berkaitan dengan penentuan di Pengadilan mana gugatan itu diajukan terutama
bila ada Tergugat yang paling dianggap menimbulkan kerugian bagi Penggugat berada bersama sama dengan para Tergugat
lainnya. Maka para Tergugat lainnya yang secara tidak langsung dianggap turut
terlibat maka harus juga dimasukan
sebagai Turut Tergugat. Hal ini untuk menghindari adanya eksepsi yang mungkin
diajukan oleh lawan tentang eksepsi kurangnya para pihak sebagaimana yang telah
diputus dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.mengenai persona
standi dari pihak-pihak yang digugat juga memerlukan kecermatan dan kalau perlu
membuat sedikit investigasi untuk menentukan status dan alamatnya secara tepat.
Dalam menentukan status pihak Tergugat juga harus dipahami sebelumnya mengenai
apakah Tergugat dituntut sebagai pribadi atau sebagai (Direksi) suatu badan hukum tertentu, atau
mungkin dituntut dalam 2 kapasitas
sebagaimana diatas. Dalam menentukan alamat maka kita harus yakin bila
si Tergugat memang bertempat tinggal atau berdomisili di tempat tersebut. Bila
si Tergugat mempunyai beberapa alamat maka alamat yang terakhir sebagai tempat
domisili terakhir. Namun kadang-kadang
seluruh alamat Tergugat dalam hal tertentu ditulis semua agar gugatan
dapat diajukan pada Pengadilan Negri dimana akan banyak asset dari para
Tergugat yang harus disita dalam pengajuan gugatan tersebut.
Ad.d Hak Banding dan Kasasi
Dalam mencantumkan klausul hak
banding dan kasasi ini memang tidak ada yang seragam diantara kantor hukum atau
law firm. Ada kantor yang secara standar dalam surat kuasanya selalu
mencantumkan adanya hak untuk menyatakan banding atau hak untuk menyatakan
kasasi ini. Tapi ada pula kantor hukum lain tidak mencantumkan hak banding
untuk pada saat berperkara di tingkat Pengadilan Negri. Dalam praktek setelah
perkara diputus maka pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan isi putusan itu
sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan undang-undang akan mengajukan hak bandingnya
untuk putusan pengadilan negri dan hak mengajukan kasasi untuk putusan
Pengadilan Tinggi. Hak banding ini dimasukan tersendiri dalam suatu surat kuasa yang baru.
Sebenarnya bisa saja memakai surat kuasa yang
lama sepanjang dalam surat
kuasa tersebut dicantumkan hak banding atau hak kasasi. Namun kadang-kadang ada
hambatan dimana pada saat telah diputus di tingkat Pengadilan Negri ternyta
panitera pengganti belum melaporkan adanya putusan ini pada bagain banding dan
kasasi. Kadang-kadang berkas perkara tertinggal atau masih ditangan panitera
pengganti dengan alasan sedang mengetik putusan. Sedangkan dalam pengajuan
banding atau kasasi tersebut harus ditunjukan suarat kuasa aslinya bukan
salinannya. Oleh karena itu untuk menghindari kesuulitan tehnis administrasi
tersebut biasanya para Pengacara lebih memilih membuat suarat kuasa khusus
baru, sekaligus sebagai bukti bahwa kliennya tetap masih mempercayainya untuk
membantu perkaranya di tingkat tersebut.
Sebenarnya masih ada hak-hak penerima
kuasa yang harus dicantumkan dalam setiap surat
kuasa. Seperti hak untuk mengajukan dan menerima Jawaban, Replik, Duplik,
saksi-saksi dann bukti-bukti, kesimpulan dan termasuk mendengarkan putusan.
Kadangkala terjadi suatu debat seru antara kuasa hukum dengan majelis hakim
mengenai hak-hak tertentu yang tidak dicantumkan terutama bila si kuasa hukum
ini adalah kuasa subtitusi. Maka apabila ada hak –hak tertentu tidak
dicantumkan seperti hak menerima Jawaban, Duplik dsb maka Hakim akan menolak
permintaan kuasa hukum menerima Jawaban atau Duplik bila tidak dicantumkan
hak-hak tersebut. Sering terjadi ternyata dalam kuasa subtitusi hanya
dicantumkan hak untuk menerima Jawaban saja sehingga pada sidang berikutnya
kuasa hukum tersebut ditolak hadir dalam persidangan karena tidak ada hak untuk
tahap Replik atau Duplik, apalagi bila perkara tersebut menyangkut masalah
gugatan perceraian .
Demikian pula
dengan hak untuk membuat dan menandatangani dading/perdamaian serta mencabut
perkara dari rol sebaiknya hak ini dicantumkan. Karena pernah terjadi
perdamaian yang telah ditandatangani kuasa hukum diingkari oleh klienya dengan
alasan dia tidak memberikan hak tersebut.
Hal ini kadang-kadang bisa membuat si kuasa hukum digugat kliennya di
Pengadilan dan biasanya sekaligus ingin membatalkan apa yang telah disepakati dalam
akta dading sebelumnya.Hak untuk mencabut perkara dari rol ini bila tidak
dicantumkan akan membuat si kuasa hukum tidak dapat mencabut perkara begitu
saja bila telah terjadi suatu perdamaian dengan pihak lawan. Perkara tersebut
baru dapat dicabut bila ada kuasa baru yang mencantumkan hak tersebut.
Sedangkan hak rekopensi sangat penting untuk dicantumkan terutama bila kita
sebagai Tergugat dan mempunyai kesempatan untuk mengajukan gugatan balik atau
yang dikenal dengan gugatan rekopensi. Kalau si kuasa hukum sebagai kuasa
Tergugat tidak mencantumkan hak tersebut kemudian dalam Jawabannya dia membuat
dan mengajukan pula gugatan rekopensi, maka gugatan rekopensi ini tidak
mempunyai dasar hukum karena si kuasa hukum tidak mempunyai hak untuk
mengajukan hal itu. Dengan perkataan lain gugatan rekopensinya menjadi batal
demi hukum. Hak penting yang lain yang harus dicantumkan adalah hak subtitusi
baik sebagian atau seluruhnya. Dalam praktek
kadang-kadang dalam perkara tertentu misanya menyangkut peraturan
pertanahan maka ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dikuasai secara sempurna
kemudian ditengah perjalananan persidangan ada orang yang dianggap menguasai
hal itu maka dengan adanya hak subtitusi ini akan memberikan kemudian bagi si
kuasa hukum untuk melimpahkan kuasanya baik sebagian atau seluruhnya kepada
pihak lain yang dipercayai tersebut. Atau bisa juga dalam jadwal persidangan
tersebut ada beberapa perkara yang ditangani secara bersamaan sehingga mau
tidak mau harus dikuasakan kepada pihak lain yang namanya tidak tercantum dalam
surat kuasa
semula.
Setelah surat
kuasa tersebut dibuat dan isinya telah dianggap cukup oleh baik Pemberi Kuasa
maupun Penerima Kuasa maka sebagai perwujudan terjadinya pendelegasian wewenang
tersebut diwujudkan dalam
penandatanganan surat
kuasa khusus tersebut oleh kedua pihak. Dan penandatanganannya dilakukan diatas
meterai yang berlaku sesuai dengaan ketentuan pemeteraian.
Memang antara satu
Kantor Hukum/Law Firm dengan kantor lainnya tidak ada semacam standarisasi
mengenai hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dalam surat kuasa. Demikian pula Mahkamah Agung-Republik Indonesia dalam beberapa putusannya mengenai surat kuasa tidak pernah memberikan suatu standarisasi surat kuasa. Namun dari
hasil Raker Mahkamah Agung-Republik Indonesia paling tidak dalam surat kuasa dimasukan 4 hal sebagaimana
diatas.
Contoh-contoh Surat Kuasa Khusus :
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ;untuk selanjutnya
sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor
Pengacara ......., beralamat di ...... yang bertindak baik bersama-sama atau sendiri-sendiri; untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
KHUSUS:
Untuk dan atas nama pemberi kuasa sebagai .(Penggugat)..... lawan ...(nama).....
yang beralamat sebagai Tergugat di
.......mengenai(perkara apa) ......., di Pengadilan Negeri ...... .
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan
dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan
dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan
putusan, mencabut perkara dari rol,
menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan
yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima
uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran
dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan
banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan
pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
|
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor
Pengacara ......., beralamat di ...... yang
baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat. . ..di
Pengadilan Negri. . . . . . yang terdaftar dalam rol perkara No..
…/Pdt.G/………….mengenai………………………lawan…………………………sebagai Penggugat.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
|
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor
Pengacara ......., beralamat di ...... yang
baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Penggugat, mengajukan dan menanda-tangani gugatan di
Pengadilan Negeri Jakarta
.......... mengenai ...perceraian....
terhadap
(nama)......, (pekerjaan) ............., bertempat tinggal di Jalan
............sebagai Tergugat.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan
putusan, mencabut perkara dari rol,
menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan
yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima
uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran
dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan
banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan
pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
|
Yang bertanda tangan di bawah ini,
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor
Pengacara ......., beralamat di ...... yang
baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat. . ..di
Pengadilan Negri. . . . . . yang terdaftar dalam rol perkara No..…/Pdt.G/………….
mengenai……………………… lawan…………………………sebagai Penggugat.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
|
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; berdasar Surat
Kuasa Khusus tertanggal…………………………(terlampir); selanjutnya
sebagai Pemberi Kuasa.
Dengan ini memberikan Kuasa Substitusi kepada :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat/Penggugat. . ..di Pengadilan
Negri. . . . . . yang terdaftar dalam rol perkara No..
…/Pdt.G/………….mengenai………………………lawan…………………………sebagai Penggugat/Tergugat.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
|
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi
Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor
Pengacara ......., beralamat di ...... yang
baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Pembanding, mewakili, mengajukan dan
menanda-tangani banding di Pengadilan Tinggi………………………………atas Putusan Pengadilan
Negri No………/Pdt.G/2000/…………tertanggal…………lawan…………………………….selaku Terbanding.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
|
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat :
; selanjutnya sebagai Pemberi
Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor
Pengacara ......., beralamat di ...... yang
baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Terbanding, mewakili, mengajukan dan
menanda-tangani memori banding di Pengadilan Tinggi………………………………atas Putusan
Pengadilan Negri No………/Pdt.G/2000/…………tertanggal…………lawan……………………………………selaku Pembanding.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
|
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi
Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor
Pengacara ......., beralamat di ...... yang
baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Pemohon Kasasi, mewakili, mengajukan dan
menanda-tangani kasasi di Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan Tinggi………………
No………/Pdt/2000/…………tertanggal…………lawan………………………………………selakuTermohon Kasasi.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi,
menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan
pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala
perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap
perlu oleh Penerima kuasa.
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
|
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi
Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor
Pengacara ......., beralamat di ...... yang
baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Termohon Kasasi, mewakili, mengajukan
dan menanda-tangani memori kasasi kasasi di Mahkamah Agung atas Putusan
Pengadilan Tinggi………………No………/Pdt/2000/…………tertanggal…………lawan………………………………………selaku
Pemohon Kasasi.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi,
membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu
yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
|
Langkah-Langkah Dalam Pembuatan Gugatan
I.Pendahuluan
Seseorang atau badan hukum atau
kumpulan orang-orang bila merasa dirugikan hak perdatanya oleh pihak lain dapat
melakukan gugatan kepada pihak yang merugikan tersebut. Diantara para pihak
mutlak harus ada perselisihan hukum.[9]
Adapun pihak yang merugikan tersebut juga dapat berupa perorangan, kumpulan
orang-orang ataupun suatu badan hukum.
Apabila pihak yang
dirugikan bermaksud menggugat pihak yang merugikan kemudian datang pada
pengacara, maka bila kita berperan sebagai seorang pengacara atau penasehat
hukumnya tentunya harus membuat langkah-langkah persiapan dalam proses membuat
gugatan.
Dalam membuat
gugatan tidaklah semudah yang diperkirakan oleh kebanyakan para pengacara.
Kesalahan dalam membuat gugatan sehingga secara formil tidak terpenuhi akan
membuat gugatan menjadi kandas ditengah perjalanan. Bahkan bisa jadi masalah
pokoknya menjadi tidak terlindungi, justru malah berdebat dengan dalil-dalil
yang berkaitan dengan eksepsi.
Namun yang merugikan klien apabila dalam
membuat gugatan cara penyusunan
dalil-dalil tidak disesuai dengan bukti-bukti yang ada dapat membuat gugatan
tidak dapat dibuktikan. Atau dengan perkataan lain dapat membuat suatu gugatan
menjadi ditolak.
Oleh karena itu
dalam membuat gugatan kita harus hati-hati dan cermat jangan sampai kekeliruan
dan ketidak-cermatan akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah perjalanan.
II.Tahap Persiapan
Dalam membuat
suatu gugatan memang diperlukan kecermatan dan kehati-hatian, karena
kekeliruan-kekeliruan yang dibuat dalam membuat gugatan baik itu yang mengakibatkan
syarat formil dan materiil gugatan tidak terpenuhi akan membuat gugatan kandas
ditengah jalan. Demikian pula sebagimana seperti pada saat pembuatan Surat
Kuasa Khusus maka dalam membuat gugatan
ada hal-hal yang harus benar-benar diperhatikan diantaranya adalah sebagai
berikut :
1.
Siapa yang akan digugat, apakah sebagai pribadi ataukah
sebagai suatu badan hukum ataukah pula sebagai keduanya ?
2.
Di- pengadilan mana gugatan akan diajukan, apakah gugatan
ini mengenai suatu perjanjian dan apakah dalam perjkanjian telah disepakati
mengenai penyelesaian terjadinya sengketa; bagaimana bila pihak yang akan
digugat tidak ada hubungan hukum sebelumnya ?
3.
Bukti-bukti apakah yang dimiliki oleh klien, apakah
buktinya lengkap atau hanya sebagian ataukah hanya berupa foto copi saja?
4.
Apakah Tergugat
mempunyai asset yang akan disita sebagai jaminan gugatan agar tidak menjadi
sia-sia ?
Dalam membuat suatau gugatan sebenarnya
harus dikumpulkan lebih dulu data-data yang dimiliki klien. Tentunya data-data
tersebut berkaitan dengan bukti-bukti yang dimiliki oleh klien. Kadang –kadang
bukti-bukti yang diajukan klien kita tidak relevan dengan permasalahan yang
dihadapi. Bila terjadi demikian maka kita harus pandai mengingatkannya sehingga
seluruh data-data bukti diserahkan seluruhnya. Dengan data bukti yang lengakap
akan memudahkan kita menentukan langkah-langkah hukum yang akan menyelesaikan
masalah tersebut.Apabila data bukti yang akan mendukung gugatan klien kita
sudah terkumpul maka adakalanya diperlukan suatu investigasi terhadap para
pihak yang akan digugat. Apakah pihak yang akan digugat merupakan orang
perorangan , kumpulan orang-orang atau suatu badan hukum. Kadang-kadang dapat
digugat sebagai perorangan dan sekaligus badan hukumnya juga bila kita sulit
mengklarifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita klien
kita.Kemudian juga perlu diteliti alamat tempat tinggal terakhir perorangan
yang akan digugat, domisli dari badan hukum yang terakhir. Demikian pula bila
yang digugat adalah bank cabang maka terhadap bank cabang tersebut dapat
digugat secara berdiri sendiri dan bukannya kantor pusat bank tersebut yang
digugat karena bank cabang.[10]
Pada waktu melakukan investigasi tersebut juga
perlu dicheck kembali asset asset yang masih dimiliki oleh pihak yang akan
digugat tersebut. Letak batas-batas tanah yang mungkin akan diajukan sebagai
jaminan atas gugatan klien kita harus jelas diketahui batas-batasnya juga
data-data pendukungnya.
Kalau perlu
diminta pula kronologis masalah yang menimbulkan sengketa yang merugikan klien kita kemudian
dikonfirmasikan kembali kepada klien bila masih ada data-data yang tidak jelas.
Setelah data-data
bukti telah lengkap sebagimana yang dimiliki klien kita dan peristiwa-peristiwa
hukum yang terjadi telah membentuk suatu kelengkapan dalam pembuatan suatu
gugatan maka langkah pertama adalah membuat surat kuasa lebih dulu sebagaimana yang telah
pernah diuraikan.
III. Menentukan siapa yang menjadi
Penggugat
Untuk dapat menntukan siapa yang akan
menjadi Penggugat atau yang berhak secara hukum memberikan kuasa kepada kita
maka diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Bila klien kita yang dirugikan berupa
perorangan maka yang perlu diteliti adalah apakah dia mempunyai hubungan hukum
dengan pihak yang akan digugat atau ada hak perdatanya yang dilanggar dimana
pelanggaran dilakukan secara melawan hukum.
Demikian pula bila
klien kita merupakan kumpulan orang-orang baik yang berupa firma, matschaap
atau namloze vennoschap (cv) maka yang dapat bertindak sebagai penggugat
sekaligus pemberi kuasa adalah para sekutu yang sah sebagaimana tercantum dalam
anggaran dasarnya. Bila Penggugatnya berupa badan hukum maka kita harus lebih
cermat untuk menentukan siapa yang dapat
mewakili dari badan hukum itu.
Tapi secara umum
yang dapat memberikan kuasa atau mewakili sebagai penggugat adalah Direksi yang
memang berwenang sebagaimana yang telah ditentukan dalam anggaran dasarnya.
Namun dalam hal tertentu kita harus hati-hati menentukan siapa yang mewakili
sebagai penggugat (yang memberi kuasa). Seperti Bank yang disamping tunduk
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas juga pada Undang-Undang Perbankan dapat
pula diatur dengan peraturan-peraturan lain yang membuat siapa yang berwenang
dan mewakili sebagai penggugat menjadi berubah. Untuk itu kita harus mengikuti
adanya perkembangan peraturan-peraturan baru.
IV. Menentukan siapa yang menjadi Tergugat
Sebagaimana dalam pembuatan Surat kuasa Khusus maka
dalam menentukan para pihak yang akan digugat juga harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1.
Apakah ada pihak yang dianggap telah melakukan tindakan
yang merugikan hak keperdataan klien kita dan dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum ?
2.
Apakah diantara klien kita dengan para pihak yang merugikan
tersebut mempunyai hubungan hukum ?
3.
Bila mempunyai hubungan hukum apakah dalam perjanjian yang
telah disepakati ada ketentuan yang mengatur penyelesian sengketa ?
4.
Perlunya informasi yang terakhir mengenai domisili dari
para pihak dan data-data sepanjang assets para pihak yang akan digugat
tersebut.
Dalam hubungan
dimasyarakat kadangkala mungkin terjadi ada tindakan kita yang dianggap pihak
lain merugikan hak keperdataannya padahal kita tidak merasa melakukannya.
Secara hukum
apabila ada perbuatan yang dilakukan yang menurut pandangan satu pihak wajar
dan tidak ada masalah namun oleh pihak lain dianggap merugikan dianggap sebagai
suatu tindakan kelalaian yang menurut pasal 1365 dan pasaaal 1366 KUHPerdata
dapat dituntut secara hukum penggantian kerugiannya.
Kemudian pihak
yang dianggap merugikan secara langsung tersebut dimasukan sebagai Tergugat
utama baru ditentukan pihak-pihak lain yang secara tidak langsung dianggap
turut serta merugikan tersebut. Kaitan yang harus diperhatikan adalah dal;am
penyusunan gugatan terhadap perkara yang demikian penyusunan para tergugat tersebut harus
memperhatikan ketentuan pasal 118 dari ayat 1 sampai ayat 4 HIR. Ketentuan ini
harus diperhatikan agar tidak ada eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi
relatif.
Namun apabila diantara para pihak kemudian
ternyata ada hubungan hukum sbelumnya dimana hubungan hukum itu berbentuk suatu
perjanjian; kemudian dalam perjanjian tersebut para pihak telah sepakat
mengenai pengadilan atau badan tertentu sebagai penyelesaian bila terjadi
perselisihan hukum maka pengajuan
gugatan dilakukan ditempat yang yang telah disepakati tersebut.
Sedangkan para
pihak yang akan digugat adalah pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian yang
telah dilanggar tersebut.
Dalam penentuan pihak-pihak yang akan
digugat biasanya dipersiapkan pula sekaligus kelengkapan data-data baik itu
mngenai alamat terakhir pihak yang akan digugat juga data-data mengenai harta
kekayaan tergugat yang diperkirakan akan dimasukkan dalam daftar sita jaminan.
Data-data harta kekayaan tersebut sebaiknya dibuat selengkap mungkin sehingga
tidak terjadi kekeliruan sita. Bila terjadi kekeliruan tersebut akan membuat
biaya sita menjadi membengkak karena adanya duakali atau lebih permohonan sita.
Kalau perlu harus diketahui batas-batas dari tanah yang akan disita tersebut
seperti batas sebelah utara dengan tanah siapa sebelah timur dengan jalan apa,
sebelah selatan dengan tanah siapa dan sebelah barat dengan tanah siapa pula,
dan kadang-kadang gugatan bisa menjadi batal.[11]
Detail yang lengkap ini diperlukan agar pada
waktu pendaftaran sita jaminan di BPN menjadi lebih mengikat atau merupakan
sita jaminan yang sah dan berharga.
Kadangkala bila
tanahnya belum bersertifikat maka tembusan penetapan sita jaminan dan berita
acaranya diberikan ke pihak Kelurahan dan Kecamatan. Ini dimaksudkan bila
terjadi jual beli atas tanah girik tersebut pihak terkait dalam hal ini Camat sebagai PPAT dan Lurah sebagai saksi
tidak bersedia melakukan pembuatan akte jual beli tersebut.
V. Persona Standi in Judicio
Setelah menentukan siapa Penggugat dan
siapa saja yang menjadi Tergugat sekaligus menentukan di Pengadilan mana
gugatan itu akan diajukan maka hal itu merupakan bagian dari persona standi
dari gugatan ini.
Untuk lebih
meyakinkan lagi sebaiknya dicheck lebih dulu apakah antara Penggugat dengan
para Tergugat jumlah dan alamatnya sama sebagaimana yang telah tertuang dalam surat kuasa (khusus). Bila
tidak sama maka dapat membuat pihak Tergugat kemungkinan untuk mengajukan
eksepsi atas kekurangan ini.
Dalam menuliskan
data-data baik dari penggugat maupun dari Tergugat maka baik data-data seperti
nama, pekerjaan dan alamatnya serta kapasitas
sebagai Tergugat harus jelas benar. Apakah Tergugat digugat dalam
kapasitas pribadi atau personafikasi dari suatu badan hukum. Atau dapat pula
digugat dalam kapasitas sebagai pribadi dan badan hukumnya sekaligus.
VI. Posita Gugatan
Dalam penyusunan posita dalam praktek
dapat diklasifikasikan ada 3 macam model yang sering dipakai.
Model pertama,
bila data-data atau bukti-bukti yang akan digunakan memang sudah lengkap, dan
hubungan hukum dianatara para pihak memang sudah jelas maka pada bagian posita
gugatan akan disusun sedemikian rupa
dari masalah yang luas menjadi menyempit seperti kerucut. Sehingga
setiap orang akan mudah memahami bila gugatan tersebut adalah merupakan gugatan
wan prestasi atau perbuatan melawan hukum. Disamping itu runtutan peristiwa
hukum telah disusun dengan baik.
Penyusunan model demikian akan nampak jelas mudah dipahami karena
peristiwa-peristiwa hukum (rechtfeits) yang merupakan dalil-dalil yang didukung
bukti-bukti yang dikemukakan seluruhnya. Dari peristiwa-peristiwa hukum yang
disusun jelas nampak kapan tergugat wan prestasi atau kapan tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Penyusunan dengan cara ini akan lebih
sempurna bila gugatannya dibuat dengan memperhatikan syarat formil dan materiil
suatu gugatan.
Model kedua, dalam
penyusunan gugatan maka peristiwa hukum-pertistiwa hukum yang diajukan hanya
merupakan dalil-dalil yang hanya didukung oleh sebagian bukti-bukti yang
dimiliki. Sedang sebagian bukti lainnya diajukan dapat tahap berikutnya setelah
ada Jawaban dari tergugat.Biasanya model yang demikian dipakai bila kuasa
hukumnya sendiri belum begitu yakin akan bukti-bukti yang dimiliki kliennya.
Namun bisa juga karena ada hubungan hukum tertentu dari peristiwa hukum yang
diajukan masih samar-samar. Oleh karena itu biasanya pada tahap Replik baru
sebagian lagi bukti-buktinya diajukan. Strategi ini biasanya dipakai juga bila
kliennya hanya memiliki sebagai bukti-bukti saja sedang sebagian lain ada di
tangan tergugat. Atau dengan perkataan lain hanya memiliki sebagian bukti saja
sedang sebagian lagi biasanya hanya foto copinya saja karena aslinya berada di
tangan tergugat atau pihak lain.
Model ketiga, bila
klienya hanya memiliki sebagian kecil bukti saja maka penyusunan positanya
biasanya merupakan dalil-dalil pernyataan yang sifatnya memancing. Namun karena
disusun seolah juga mempunyai bukti, sehingga biasanya lawan akan terpancing
dan memberikan tanggapannya dalam Jawaban dan lebih mempertegas lagi dalam
Dupliknya . Kadangkala ada juga pengacara yang begitu mudah terpancing
sehingga dia dalam menyusun Jawabannya akan membuat dalil penjelasan yang
berikut bukti-buktinya tanpa menyadari bila hal itu adalah strategi lawannya.
Namun
sering pula dalam praktek kuasa hukum lawan tidak mau terpancing, terutama
pengacara senior. Bahkan pada waktu pembuktian dia akan menyatakan akan
menyakan bukti aslinya pada kliennya lebih dulu bila lawannya menyatakan
buktinya ada pada kliennya. Sehingga pada sidang berikutnya pasti akan menyatakan bukti asli tidak ada pada
kliennya.
Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam membuat posita maka setelah
peristiwa-peristiwa disusun tentunya ada tjuan yang hendak dicapai dalam
pengajuan gugatan tersebut yaitu sita jaminan (conservatoir beslag). Permohonan
sita jaminan sebagai jaminan agar gugatan tersebut tidak menjadi sia-sia belaka
harus diajukan bersama-sama dalam gugatan.
Kadang-kadang walau telah diajukan dalam posita gugatan juga diajukan lagi dalam permohonan
tersendiri. Apabila kita melihat adanya indikasi si tergugat berusaha
mengalihkan harta kekayaannya kepada piohak lain guna menghindari tanggung
jawab dari gugatan ini maka permohonan sita jaminan dapat diajukan pada saat
berkas masih berada dalam kewenangan Ketua Pengadilan ( berkas
belum dibagi). Disamping itu permohonan sita jaminan dapat diajukan pada saat
di periksa Mejelis hakim dan biasanya dikabulkan atau tidak setelah melalaui
proses pembuktian. Dalam bagian posita setidak-tidaknya dimasukkan pula
alasan-alasan permohonan putusan serta merta akan diajukan, uraian mengenai
dwangsom, perincian ganti rugi matriil dan immateriil dalam gugatan gantirugi
atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat serta hal-hal ini
disesuaikan dengan kasus-kasus yang dihadapi.
VII. Petitum Gugatan
Apabila kita membuat petitum dalam
suatau gugatan maka dalil-dalil yang
akan dituntut dalam petitum harus diuraikan lebih dulu dalam bagian posita, baru
dapat dimntaakan dalan bagian petitumnya. Jadi kalau tidak pernah diuraikan
terlebih dulu alasan-alasan hukumnya pada bagian posita maka hal itu tak dapat
dituntut dan diajukan pada bagian petitumnya. Secara standar yang dimuat
pertama kali pada petitum dalam perkara wan prestasi adalah klausul :
“Mengabulkan gugatan Penggugat
seluruhnya”;
“Menyatakan secara hukum Tergugat
telah cidera janji “
“Menyatakan batal demi hukum atau
menyatakan sah demi hukum perjanjian…..”
“Menyatakan secara hukum para tergugat
secara tanggung renteng membayar ganti rugi…..”
Bila ada persengketaan bezitrecht
maka klausulnya adalah “ Menghukum Tergugat/para Tergugat atau siapapun yang memperoleh dari Tergugat
untuk menyerahkan sebidang tanah dan bangunan aquo kepada Penggugat dalam
keadaan kosong dan baik”.
“Menyatakan sah dan berharga sita
jaminan yang telah dilakukan”.
“Menghukum Tergugat/para Tergugat
untum membayar dwangsom sebesar……”.
“dan seterusnya sesuai dengan
masalahnya.
“ Biaya perkara menurut hokum.
Kemudian kebanyakan ditambah pula
petitum subsidairnya dengan klausul,
“ A t a u, bila Mejelis
berpandangan lain mohon diberikan putusan seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan
YME”.
Sedangkan kalau gugatan itu
merupakan gugatan melawan hukum maka petitum yang diajukan adalah ;
“Mengabulkan gugatan Penggugat
seluruhnya”.
“Menyatakan bahwa Tergugat/para
Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum”
“Menghukum Tergugat/para Tergugat
untuk membayar ganti rugi (secara tanggung renteng) secara tunai kepada Penggugat meliputi,
-
Ganti rugi materiil sebesar……..
-
Ganti rugi immateril sebesar…
“Menyatakan sah dan berharga sita
jaminan yang telah dilakukan”
“Menghukum Tergugat/para Tergugat membayar dwangsom
sebesar….”
“.Biaya perkara menurut hukum”
Dapat pula dimasukkan permohonan
subsidair atau ex aquo et bono
Untuk lebih jelasnnya dapat dilihat
pada contoh-contoh model terlampir
Ref.No.:___/IHP/DN-YAS/III/99 Jakarta , __Maret 1999
Kepada Yth,
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
di Jakarta
Hal:Gugatan Wanprestasi
Dengan hormat,
Dani Indrawan, SH
dan, Eva Rahayu SH., Penasehat Hukum di INDRAWAN,
HEISKY & PARTNERS, beralamat di Gedung Arthaloka Lantai 15, Jalan
Jenderal Asudirman Kav. 2, Jakarta
10220, berdsarkan Surat Kuasa Khusus No. _____ tanggal _________, bertindak
untuk dan atas nama PT. BANK UNIVERSAL
Tbk., berkantor pusat di ___________ , yang dalam hal ini diwakili oleh
_________ selaku ________, berlamat di ____________, selanjutnya disebut
sebagai “Penggugat”.
Penggugat bersama
ini mengajukan gugatan terhadap :
1.
PT. Berkatama Raya
Finance, beralamat di Jl. Abdul Muis No. 6-8-10, Jakarta 10160
dan Kompleks Harmoni Plaza Blok K 4-5, Jl. Suryo Pranoto 2, Jakarta, selanjutnya disebut “Tergugat I”.
2.
Saderah
Susantadiredja, berlamat di Jalan Tomang Rawa Kepa Utama No. 22 Rt 003/013, Kel. Tomang, Kec. Grogol
Petamburan, Jakarta Barat 11440, selanjutnya disebut sebagai “Tergugat II”.
Adapun
alasan-alasan yang menjadi dasar gugatan adalah sebagai berikut:
1.
Bahwa Tergugat II , semula adalah Direktur Utama dari
Tergugat I, yang bergerak di bidang
pembiayaan yang menjalankan kegiatan usaha antara lain berupa pemberian kredit
dengan cara cicilan/angsuran untuk pembelian kendaraan kepada nasabah bank
dalam keadaan baru atau bekas pakai, merek-merek tertentu kepada nasabahnya
dengan cara pembiayaan angsuran dalam pemberian kredit untuk membiayai tagihan
debitur kepada Supplier (factoring) yang dibuat berdasarkan kontrak atau
perjanjian lainnya.
2. Bahwa Tergugat II dalam mengajukan
permohonan-permohonan dalam proposal mengenai kegiatan usahanya tersebut untuk
meyakinkan Penggugat sebagai pihak Bank yang membantu kegiatan usaha Tergugat
tersebut yaitu memberikan fasilitas kredit berupa pinjaman uang kepada
debitur/tergugat untuk membiayai piutang yang timbul dari kontrak yang
disetujui.
3.
Bahwa Tergugat I melalui Tergugat II dalam beberapa kali
presentasi begitu meyakinkan, apalagi Tergugat disamping sebagai Direksi
Perusahaan tersebut bersama-sama dengan pemegang saham lainnya menjamin usaha
tersebut dengan jaminan harta kekayaan pribadinya masing-masing [vide P.1].
4.
Bahwa karena prospek usaha PT. Berkatama Raya Finance
nampak baik pada waktu itu dan ada jaminan yang diberikan tersebut di atas,
maka Penggugat dan Tergugat I yang diwakili oleh Tergugat II sepakat
mengikatkan dirinya untuk terikat dalam kontrak Perjanjian Kredit No.
316/ABF/STR/XII/96 sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah) tanggal 13
Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H. Parlindungan Lumban Tobing,
SH., dibawah No. 5726/MONO (“Perjanjian
Kredit”)[vide P.2] dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie)
Tagihan tanggal 13 Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H.
Parlindungan Lumban Tobing, SH., dibawah No. 5727/MONO [vide P.3].
5.
Bahwa semenjak Perjanjian Kredit ditandatangani, maka
terlihat kegiatan usaha Perusahaan berkembang baik dan bahkan usaha Tergugat I
menunjukkan terdapat banyak peningkatan jumlah nasabahnya, oleh karena itu maka
Perusahaan memerlukan tambahan biaya lagi.
Bahwa karena hal
tersebut di atas, maka pada tahun 1997 berturut-turut Penggugat mengucurkan
dana lagi kepada Tergugat I yaitu sebagai berikut :
5.1 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan
plafond) No. 028/ABF/STR/III/97 tanggal 17 Maret 1997 (“Perubahan I”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 5.
000.000.000,- (lima
milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah
Perubahan I menjadi sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar Rupiah); [vide P.4]
5.2 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan
plafond) No. 073/ABF/STR/VI/97 tanggal 30 April 1997 (“Perubahan II”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp.
5.000.000.000,- (lima milayar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima
Tergugat setelah Perubahan II menjadi sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas
milyar Rupiah);[videP.5]
5.3 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan
plafond) No. 122/ABF/STR/VII/97 tanggal 9 Juli 1997 (“Perubahan III”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp.
2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima
Tergugat setelah Perubahan III menjadi sebesar Rp. 17.000.000.000,- (tujuh
belas milyar Rupiah).[vide P.6]
6.
Bahwa sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam
Perjanjian Kredit pada butir 7.7 telah disepakati sebagai berikut :
“Debitur tidak diperkenankan, tanpa persetujuan
tertulis terlebih dahulu dari Bank, (i) mengubah struktur permodalan atau
dengan cara bagaimanapun mengubah atau mengijinkaan agar akta pendirian atau
anggran dasarnya diubah, kecuali meningkatkaan modal dasarnya yang diambil
daari laba yang ditahan atau penempatan modal baru oleh pemegang saham, (ii)
mengijinkan, mengganti atau mengubah susunan pemegang saham, (iii)
mengubah atau mengganti atau mengganti susunan anggota Direksi, DewanKomisaris
atau staff
inti, akan tetapi jika perubahan atau penggantian
tersebut disebabkan karena
pensiun, mengundurkan diri atau meninggal dunia, hal
mana tidak mengakibatkaan pelanggaran terhadap ayat ini jika kekososngan
tersebut diisi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya kekososngan
tersebut dengan orang yang disetujui oleh bank, kecuali untuk menyesuaikan
dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
7.
Bahwa Para Tergugat kemudian secara diam-diam merubah
anggaran dasar Perseroan tanpa seijin tertulis dari Penggugat pada tanggal 15
Juli 1998; tindakan Para Tergugat ini
jelas bertentangan dengan butir 7.7 Perjanjian Kredit [vide P.2].
8.
Bahwa karena Perjanjian Kredit tersebut telah disepakati
antara Penggugat dengan Tergugat yang waktu itu berkapasitas sebagai pihak yang
mewakili Perusahaan, karenanya sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Perjanjian Kredit tersebut harus ditaati oleh
kedua pihak. Oleh karena itu tindakan
perubahan anggaran dasar tanpa ada persetujuan tertulis dari Penggugat adalah
batal demi hukum.
9.
Bahwa kemudian diketahui setelah pengalihan Dewan Direksi
tersebut dimaksudkan agar Tergugat II tidak bertanggung jawab lagi akan
Perjanjian Kredit, segala perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian
Pengalihan Hak (cessie) Tagihan [vide
P.2 s/d P.6]) dengan Penggugat atau dengan perkataan lain merupakan usaha
Tergugat II dengan itikad buruk untuk mengalihkan tanggung jawabnya kepada
pihak lain.
10.
Bahwa ternyata setelah dilakukan pemeriksaan keuangan oleh
Penggugat ternyata dana-dana kredit yang telah Penggugat berikan tidak dapat
dipertanggungjawabkan lagi oleh Tergugat II
yang pada waktu itu berkapasitas sebagai Direktur Utama dari Tergugat I,
karena nampak berusaha untuk mengalihkan tanggung jawabnya pada pihak lain.
11.
Bahwa setelah Penggugat berkali-kali menghubungi Para
Tergugat untuk menyelesaikan tanggung jawab pengembalian kredit tersebut,
ternyata tidak ada tanggapan yang baik dari Tergugat I dan Tergugat II untuk
menyelesaikannya.
12.
Bahwa Penggugat pada tanggal 28 Agustus 1998 mendapat
surat pemberitahuan dari 2 (dua) orang pemegang saham Perusahaan yang pada
pokoknya menyatakan bila Tergugat II adalah penanggung jawab dalam Perusahaan [vide P.7].
13.
Bahwa wajar bila Penggugat dalam hal ini hanya menuntut
tanggung jawab Tergugat II karena dalam penandatanganan Perjanjian Kredit,
segala perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian Pengalihan Hak
(cessie) Tagihan [vide P.2 s/d P.6])
dilakukan oleh Tergugat II, demikian pula pengelolaan uang dari tanggal 13
Desember 1996 sampai dengan tanggal 10 Juni 1998 berada dalam tanggung jawab
Tergugat II, sedangkan gugatan terhadap pengurus atau pemegang saham lain
akan dilakukan dalam gugatan tersendiri.
14.
Bahwa dengan demikian dalam penandatanganan Perjanjian
Kredit tersebut maupun pengelolaan keuangan pada waktu itu berada dalam
tanggung jawab Tergugat II dan telah terbukti bahwa Tergugat II telah lalai
dalam menjalankan kewajibannya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Tergugat II dapat dituntut untuk
bertanggung jawab penuh secara pribadi.
15.
Bahwa kerugian akibat kredit macet yang diderita Penggugat
per tanggal ________________ dengan perincian sebagai berikut:
S
.
S
.
S
.
16.
Bahwa karena adanya jaminan pribadi dari Tergugat II [vide P.1] dan dengan adanya surat dari pemegang saham
lainnya [vide P.7] dimana pengurusan
dari pengelolaan pinjaman kredit pada waktu itu berada ditangan Tergugat II,
maka secara hukum baik Tergugat I mauapun Tergugat II bertanggung jawab secara tanggung
renteng.
17.
Bahwa untuk menjamin agar gugatan ini tidak sia-sia dan
guna menghindari usaha tergugat untuk mengalihkan hartanya pada pihak lain,
maka Penggugat mohon agar dapat dilakukan sita jaminan terhadap:
17.1 Sebidang tanah dan bangunan__________(milik
Tergugat I);
17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl.
Tomang Rawa Kepa Utama Rt 003/013 No. 22, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan,
Jakarta Barat 11440 yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama
Tergugat II;
17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl.
Rawa Kepa Raya No. 3, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta barat 11440 yang terdaftar di Kantor
Pertanahan Jakarta Barat atas nama Tergugat II.
18.
Bahwa karena gugatan ini didudkung oleh bukti-bukti yang
otentik, maka Penggugat mohon agar putusan perkara ini dapat dijalankan lebih
dulu walau ada banding, kasasi maupun verzet (iut voerbaar bij voorraad).
19.
Bahwa wajar pula bila Penggugat membebankan adanya uang
paksa / dwangsom yang harus dibayar Tergugat bila lalai dalam melaksanakan
putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu sebesar Rp.
100.000.000,- (seratus juta) per hari.
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Tergugat dengan segala kerendahan
hati mohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenan untuk memutuskan
sebagai berikut :
1.
Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2.
Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi;
3.
Menyatakan secara hukum Tergugat sebagai salah satu
pemegang saham yang turut bertanggung jawab secara pribadi atas Perjanjian
Kredit (berikut segala perubahannya dan perjanjian yang terkait [vide P.2–P.6]) yang dibuat antara
Perusahaan dengan Penggugat;
4.
Menghukum Tergugat untuk membeyar ganti rugi sebesar Rp.
_________ kepada Penggugat secara tunai;
5.
Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah
dilakukan;
6.
Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dulu walau
ada banding, kasasi, damupun verzet (iut voerbaar bij voorraad);
7.
Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp.
100.000.000,- (seratus juta Rupiah) perhari bila lalai dalam melaksanakan
putusan ini, terhitung sejak tanggal putusan ini sampai dengan tanggal
dilunasinya seluruh hutangnya;
8.
Biaya perkara menurut hukum
Atau bila
Pengadilan berpendapat lain, mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hormat kami,
Kuasa Hukum
Penggugat
INDRAWAN, HEISKY & PARTNERS
Dani Indrawan,
SH., Eva Rahayu, SH.
Langkah-Langkah Dalam Membuat
Jawaban
Pendahuluan
Apabila kita berperan sebagai kuasa
hukum dari klien kita yang digugat seseorang maka diperlukan data-data
pendukung untuk memberikan suatu tanggapan hukum. Tanggapan hukum tersebut
sering dinamakan Jawaban. Jawaban ini merupakan suatu langkah yang penting dan
sangat menentukan dalam memenagkan suatu kasus. Kadangkala bila Jawaban kita
terutama bila eksepsi yang diajukan diterima oleh Majelis Hakim yang kemudian
ditungkan dalam pertimbangan hukum dalam putusannya maka dapat dipastikan
gugatan lawan kita dinyatakan tak dapat diterima (niet onvankelijk).
Namun dapat pula terjadi
dalil-dalil yang dibuat dalam gugatan dapat dipatahkan dalam Jawaban sehingga
dalil-dalil tersebut tidak dapat dibuktikan secara sempurna. Bila terjadi
demikian maka dapat dipastikan gugatan yang diajukan dinyatakan ditolak. Oleh
karena itu perlu sekali kita mendalami agar dalam membuat Jawaban benar-benar
dapat dilakukan sesuai dengan faktanya dengan didukung bukti-bukti akan
membantu kita dalam membuat suatu Jawaban atas gugatan yang diajukan seseorang
atau badan hukum tertentu.
A.
Tahap
Persiapan
Dalam membuat suatu Jawaban diperlukan persiapan dan penguasaan materi
pokok perkara dalam suatu sengketa keperdataan.
Disamping
memerlukan data-data pendukung berupa bukti-bukti yang dimiliki oleh klien juga
diperlukan kronologis kejadian perkara yang sebenarnya.
Mungkin
data-data yang diberikan masih kurang dan baru kita minta pada klien setelah
membaca kronologis perkaranya baik yang disampaikan secara tertulis maupun
secara lisan. Biasanya baru akan dibuat Jawaban bila kita telah hadir pada
sidang pertama dengan menyerahkan Surat
kuasa Khusus yang menunjukkan kewenangan
kita sehingga dapat bertindak untuk dan atas nama klien kita selaku Tergugat.
Dalam persidangan dapat juga kita minta pada Majelis Hakim Surat Kuasa lawan
dimuka persidangan untuk dicocokan dengan gugatan yang kita terima.
Namun
dalam perkara tertentu bisa saja terjadi pada saat sidang pertama setelah Hakim
menyampaikan usulan perdamaian kepada para pihak ternyata ada pihak yang
langsung menyerahkan Jawaban. Hal ini terjadi bila memang diketahui dengan
pasti gugatan yang diajukan pihak lawan ternyata tidak memenuhi syarat formal suatu gugatan.
Bila hal
ini terjadi maka penggugat tidak dapat merubah gugatannya tanpa persetujuan
tergugat.
B.
Tahap
Pembuatan
Dalam
membuat jawaban maka hal pertama yang harus diperhatikan adalah apakah gugatan
penggugat telah memenuhi syarat formal suatu gugatan. Dalam praktek sering
terjadi suatu gugatan disusun secara tergesa-gesa atau mungkin dengan data yang
tidak lengkap atau dapat juga karena ada kekeliruan dalam melakukan upaya
hukum. Perbaikan gugatan masih dapat dimungkinkan sepanjang dalam persidangan
(pertama) tidak diajukan jawaban terlebih dulu oleh tergugat. Bila telah
diaajukan jawaban maka perubahan gugatan diperbolehkan asal tidak ada keberatan
dari tergugat, hal ini mustahil terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas,
maka dalam membuat suatu Jawaban harus memperhatikan :
1. Apakah
persona standi Surat Kuasa Penggugat sama dengan gugatannya?
2. Apakah
memang benar penggugat dalam menentukan kompetensi pengadilan dengan para pihak
yang digugat ?
3. Apakah
diantara para pihak ada hubungan hukum
sebelumnya dalam bentuk suatu perjanjian ?
4. Apakah
ada konsistensi antara persona standi, posita maupun petitum gugatan penggugat
?
5.
Apakah ada konsistensi tuntutan dalam
posita dengan petitum gugatan ?
Ad.1. Apakah persona standi Surat
Kuasa Penggugat sama dengan gugatannya ?
Dalam membuat gugatan kadangkala
para pihak dalam gugatan dengan surat
kuasa khusus yang menjadi dasar kewenangan kuasa hukum penggugat tidak sama.
Pada gugatan tertulis ada tiga tergugat tapi dalam surat kuasa hanya dua tergugat. Bila terjadi
demikian dapat diajukan eksepsi atas hal
tersebut. Demikian pula sebaliknya bila ada ketidaaksamaan jumlah pihak yang
digugat bila anatara surat
kuasa dengan persona standi gugatan tidak sama. Disamping itu juga bila dalam
persona standi surat
kuasa seperti nama, pekerjaan, alamat bila tergugat merupakan
perorangan/pribadi tidak sama dengan persona standi dalam gugatan. Sedangkan
bila merupakan suatu badan hukum yang digugat ternyata tertulis langsung atas
nama direkturnya misal Drs. Amin Singgih SE, pekerjaan Direktur yang bertindak
untuk dan atas nama PT.X, alamat Jl. Situbaru…dstnya . Maka penulisan yang
demikian bisa juga dijadikan eksepsi, karena suatu perseroan terbatas tiap bulan atau dua bulan direksinya dapat
berganti terus silih berganti, tanpa
mudah untuk diketahui secara umum.
Ad.b. Apakah memang benar penggugat dalam menentukan kompetensi
pengadilan dengan para pihak yang digugat ?
Apabila penggugat dalam
gugatannya ternyata ada beberapa
tergugat, namun dalam gugatannya ternyata tidak dapat membedakan mana yang
tergugat utama dan mana yang menjadi
turut tergugat, maka dalam hal ini dapat juga diajukan suatu eksepsi
kompetensi. Demikian pula jika penggugat
dalam gugatannya ternyata ada banyak tergugat tapi gugatannya diajukan di
Pengadilan Negri dimana letak tanah yang akan digugat juga ada salah satu dari
tergugat tapi bukan tergugat utama. Terhadap gugatan demikian dapat pula
diajukan ekssepsi yang berkaitan dengan kompetensi relatif.
Ad.c Apakah diantara para pihak
ada hubungan hukum sebelumnya dalam bentuk suatu perjanjian ?
Bila penggugat dalam menentukan
pihak yang digugat ternyata melupakan adanya perjanjian diantara
para pihak dimana dalam perjanjian itu jelas dan tegas ternayat para pihak
telah sepakat untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di lembaga tertentu
misal Arbiter ad hock dan bila tak selesai
baru ke BANI . Bila memang telah disepakati demikian maka penggugat tak dapat
langsung mengajukan gugatan ke BANI melainkan harus menunjuk arbiter ad hock
terlebih dulu untuk menyelesaikan permasalahan mereka; kemudian bila tidak
selesai dalam jangka waktu yang telah disepakati baru dapat diajukan ke BANI.
Demikian pula bila telah disepakati dalam perjanjain tersebut penyelesaian
masalah akan diputus dan tunduk pada
ketentuan BANI, maka tidak dapat dalam gugatannya langsung dilakukan di
Pengadilan Negri tanpa melalui BANI terlebih dahulu. Bila dalam gugatan terjadi
seperti diatas maka terhadap gugatan tersebut dapat diajukan eksepsi yang
berkaitan dengan kompetensi absolut.
Ad. Apakah ada konsistensi antara persona standi, posita maupun petitum
gugatan penggugat ?
Apabila
ada gugatan yang ternyata tidak konsisten antara persona standi dengan posita
maupun petitum dapat juga dijadikan eksepsi atau bahan pertimbangan hukum yang
dimasukkan dalam jawaban yang akan melemahkan dalil-dalil dalam gugatan penggugat.
Misalnya dalam persona standi para tergugat tidak dijelaskan kaitan dalam
hubungan hukum sehingga terjadinya gugatan ini
kemudian muncul dalam petitum yang menyatakan para tergugat harus secara
tanggung renteng menanggung kerugian penggugat maka hal in dapat pula dijadikan
dasar untuk mengajukan eksepsi maupun sanggahan atas dalil-dalil dalam gugatan.
Contoh lain misalnya dalam posita gugatan diuraikan peristiwa-peristiwa
hukum yang secara keseluruhan merupakan
suatu gugatan cidera janji ternyata dalam petitumnya para tergugat dinyatakan
telah melakukan perbuatan melawan hukum. Hal ini merupakan suatu kontradiksi
yang kadang-kadang dalam kasus tertentu dapat membuat gugatan kandas ditengah
jalan. Bila dalam petitum gugatan kemudian muncul begitu saja permohonan serta
merta (uit voerbaar bij voorraad), sita jaminan, dwangsom tanpa diuraikan dasar
pertimbangan hukumnya dalam posita maka ini juga dapat dijadikan dasar untuk
melemahkan gugatan.
Demikian pula bila dalam petitum
gugatan ternyata para tergugat
dinyatakan telah melakukan cidera janji juga dinyatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum, maka dalam praktek juga dijadikan bahan pertimbangan
untuk melemahkan gugatan.
Dalam gugatan kadangkala tidak
diteliti lebih lanjut dalam perjanjiannya sehingga dibuat gugatan tanpa mempertimbangkan masalah
waktu tersebut juga dapat dijadikan pertimbangan yang melemahkan gugatan;
bentuknya dapat berupa eksepsi atau sanggahan dalil dalam pokok perkara.
Seringpula terjadi seharusnya upaya yang dilakukan adalah bantahan tapi justru
diajukan dalam gugatan ini juga sebagai pertimbangan dalam Jawaban.
C.
Tahap
Membuat Jawaban
Setelah
mempersiapkan semua itu dan setelah mempelajari dari bahan-bahan untuk membuat
jawaban, maka diperlukan suatu kecermatan dan naluriah untuk dapat menemukan
kelemahan-kelemahan gugatan yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu
jawaban.
Jawaban
dibuat dengan dua bagian yaitu bagian eksepsi dan bagian pokok perkara. Pada
bagian eksepsi seperti kita ketahui dapat merupakan eksepsi yang absolut atau
relatif. Bila ada eksepsi yang merupakan eksepsi absolut kemudian dalam
persidangan biasanya diminta Hakim untuk menunjukkan bukti-bukti dasar-dasar
hukumnya, maka bila terbukti akan dibuat suatu putusan sela yang menyatakan
Pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Bila
tak terbukti pemeriksaan akan dilanjutkan sesuai dengan tahapan prosedur yang berlaku.
Dalam bagian eksepsi juga dapat
dimasukkan bermacan eksepsi seperti dilatoir eksepsi, obscuur libel, ne bis in
idem, kurangnya para pihak, kadaluarsa dan macam-macam eksepsi lainnya.
Eksepsi–eksepsi yang dikemukakan diatas merupakan eksepsi yang termasuk dalam
pokok perkara sehingga putusan atas eksepsi tersebut dilakukan bersama-sama
dengan putusan akhir dengan telah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak. Setelah bermacam eksepsi diajukan dalam jawaban maka dalam
pokok perkara ada beberapa klausul yang
setidaknya harus dicantumkan dalam pokok perkara tersebut diantaranya
- Menyatakan
agar hal-hal yang telah diuraikan pada bagian eksepsi
merupakan bagian dalam pokok perkara yang
tidak terpisah; maksud klausul tersebut adalah karena kebanyakan eksepsi yang
diajukan merupakan bagian dari pokok perkara sehingga harus diperiksa bersama-sama
dengan pokok perkara dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan para
pihak.
- Klausul kedua adalah merupakan penolakan atas
seluruh dalil-dalil
penggugat kecuali yang secara tegas dan
nyata diakui oleh tergugat.
- Dalil berikutnya adalah merupakan dalil-dalil
yang membenarkan dalil
penggugat
bila memang benar; atau membantah kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh
penggugat dalam gugatannya satu demi satu tanpa ada yang terlewatkan; karena
bila ada yang tidak dibantah hal tersebut dianggap oleh penggugat mengakui
secara tidak langsung dalil-dalil yang dikemukakannya; dalam bantahan dalil
tersebut harus dikemukakan dasar hukumnya, bila perlu pendapat doktrin maupun
yurisprudensi yang berkaitan erat dengan apa yang dibantah atau yang didalilkan
itu.
-
Kemudian pada bagian petitum jawaban diajukan permohonan yang
disesuaikan dengan masalahnya baik itu
pada apa yang diminta bagian
eksepsi maupun bagian pokok
perkaranya;
Pada bagian petitum jawaban bila ada eksepsi
yang diajukan dimana eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang termasuk dalam
pokok perkara maka ada pergeseran bentuk.Bila dalam jawaban ternyata mempunyai
kesempatan untuk mengajukan gugatan rekopensi sebagaimana yang diatur dalam
pasal 132a HIR. Sedangkan cara membuat gugatan rekovensi hampir sama dengan
ketentuan membuat gugatan.Namun yang harus dicermati adalah posisi/kwalitas
dari subjek hukum menjadi berbeda secara terbalik dimana semula sebagai
tergugat dalam konvensi kemudian menjadai penggugat dalam rekovensi.
Bentuk petitum jawaban tidak sama modelnya
dengan petitum gugatanm namun bula ada rekovensi maka petitumnya menjadi
berbeda .untuk lebih jelasnya lihat
contoh atau model.
JAWABAN
Rol
perkara No……./Pdt.G/2000/PN………….
Dalam Perkara
antara :
PT.X ........................Sebagai
Tergugat Konpensi/
PenggugatRekopensi
Lawan
PT.Y........................SebagaiPenggugat
Konpensi/
Tergugat
Rekopensi
------------------------------------------------------------
Kepada Yth.
Bapak Ketua
Pengadilan Negeri
...............
u/p.
Majelis Hakim
Yang memeriksa
perkara No. ..........
Di Jakarta
Dengan hormat,
Untuk dan atas
nama klien kami, PT.X .......... yang dalam hal ini diwakili oleh
................ yang bertindak untuk dan atas nama PT. ..............., alamat
............, berdasarkan Surat Kuasa Khusus (terlampir), selanjutnya sebagai
Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekovensi, bersama ini menyampaikan
Jawaban dalam Konvensi dan Gugatan dalam Rekovensi, antara lain sebagai berikut
:
I.
Dalam Konpensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
..........................
2.
........................, dst.
B.
Dalam Pokok Perkara
3.
Bahwa Tergugat mohon apa yang telah diuraikan di atas
dianggap telah termasuk pula dalam pokok perkara ini.
4.
Bahwa Tergugat menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukakan
Penggugat kecuali yang secara tegas diakui oleh Tergugat.
5.
.............. dst.
II.
Dalam Rekopensi
15. ..................
16. ................. dst.
Berdasarkan ........./2
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Tergugat dalam Konpensi/ Penggugat
dalam Rekopensi mohon dengan segala kerendahan hati agar Pengadilan Negeri
............ berkenan untuk memutuskan antara lain sebagai berikut :
I.
Dalam Konpensi
A.
Dalam Eksepsi
- Menerima Eksepsi Tergugat seluruhnya
- Menyatakan Gugatan Penggugat tidak dapat
diterima.
B.
Dalam Pokok Perkara
-
Menolak Gugatan Penggugat seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima
-
Biaya perkara menurut hukum
II.
Dalam Rekopensi
1.
Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya
2.
Menyatakan secara hukum ........................
3.
......................................
4.
Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah
dilakukan.
5.
Menghukum Tergugat
......................
6.
Biaya perkara menurut hukum.
Hormat Kuasa
Tergugat Konpensi/Penggugat
Rekopensi,
(....................................,
S.H. )
Replik
Replik
merupakan tahapan persidangan yang diberikan kepada Penggugat dimana Penggugat
diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan hak perdatanya atas sanggahan yang
diberikan Tergugat berupa tanggapannya atas Jawaban yang diberikan Tergugat
.Relpik tidak diatur dalam HIR namun diatur dalam pasal 142 Rv (Reglement op
Rechtsverordering).[12]
Dalam
Replik biasanya akan dimasukkan dalil-dalil yang merupakan sanggahan atau penolakan
atas sebagian atau seluruh dalil-dalil Tergugat yang dikemukakan dalam
jawabannya.Bila dalam jawaban ada dalil-dalil yang bertolak belakang dengan
dalilPenggugat dalam gugatannya maka pada tahap replik penggugat akan berusaha
memperkuat dalil yang telah dikemukakan tersebut dengan menambahkan pendapat
doktrin atau Yurisprudensi yang berkaitan erat dengan dalil yang telah dibantah
tergugat tersebut. Sehingga kadang-kadang untuk semakin memperkuat dalil
tersebut juga ditambahakan bukti baru yang menambah kejelasan akan dalil yang
telah dikemukakan dalam gugatan semula. Dalam replik juga dikemukakan dalil
baru yang belum pernah dinyatakan dalam gugatan. Dalil baru tersebut biasanya
merupakan dalil yang berdiri sendiri tetapi posoisinya tetap akan semakin
memperkuat dalil-dalil gugatan secara keseluruhan sebagaimana yang dikemukakan
dalam gugatan semula. Dengan demikian dapat dikatakan dalil-dalail yang
dikemukakan penggugat dalam repliknya merupakan dalil-dalil yang membatah
dalil-dalil tergugat dalam jawabannya juga sekaligus semakin mempertegas dan
memperkokoh dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam gugatan semula. Bila ada
eksepsi yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya maka penggugat pada
repliknya harus memberikan tanggapannya yang cecara keseluruhan berisi
dalil-dalil yang mematahkan eksepsi yang dikemukakan tergugat tersebut.
Dalil-dalil yang dipergunakan penggugat dalam menangkis eksepsi tersbut harus
benar benar mempunyai dasar hukum yang kuat, karena bila tidak kuat bila dalil
eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi baik yang
absolut maupun yang relatif akan membuat majelis yang memeriksa perkara
tersebut menyatakan dirinya tak berwenang untuk memeriksa tersebut dalam suatu putusan sela. Bila
eksepsi yang diajukan merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara
seperti eksepsi ne bis in idem maka
dalam replik tersebut harus dimuat dalil-dalil yang mematahkan atau setidaknya
melemahkannya. Kalau perlu diajukan bukti-bukti yang mendukungnya beserta
yurisprudensinya yang mempunyai criteria/batasan apa yang dimaksud dengan ne
bis in idem tersebut.Demikian pula bila ada eksepsi-eksepsi lain maka penggugat
dalam repliknya harus memberikan tanggapan atas eksepsi tersebut apakah
membenarkan atau menolaknya. Demikian pula pada bagian pokok perkara dalam
replik maka ada klausul yang harus dimuat disana.
Pertama
adalah menyatakan bila pada bagian eksepsi yang berisi sanggahan atau penolakan
atas dalil eksepsi tergugat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok
perkaranya tersebut. Hal ini penting dinyatakan karena hampir sebagian besar
eksepsi merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara sehingga harus
diperiksa dan diputus bersama-sama dalam pokok
perkara pada putusan akhir.
Kedua,
klausul yang berisi penolakan atas sebagian atau seluruhnya dari dalil-dalil
yang dikemukakan oleh tergugat dalam jawabannya dan menyatakan diakui bila
ada pengakuan sepanjang memang diakui oleh penggugat. Kmeudian penggugat
harus menetukan sikap dan kejelasan pokok masalahnya atas setiap dalil-dalil
yang dikemukakan oleh tergugat satu demi satu. Penolakan itu harus dimuat dalam
repliknya satu demi satu. Bila ternyata dalil-dalail dalam jawaban tersebut
mempunyai kesamaan maka penggugat dalam menanggapinya bisa memasukan penolakannya
tersebut dalam suatu kesatuan. Bila dalam jawaban tergugat mengajukan eksepsi
maka petitum dari replik juga mengalami pergeseran bentuk yang tidak sama
dengan petitum dalam gugatan dan petitum dalam jawaban sepanjang mengenai eksepsinya.
]
REPLIK
Rol Perkara No. / Pdt. G./2000 /PN .......
Dalam Perkara
antara :
PT.Y...............Sebagai Penggugat Konpensi/
Tergugat Rekopensi
Lawan
PT.X ............Sebagai Tergugat Konpensi/
Penggugat Rekonpensi
Kepada Yth.
Ketua Pengadilan
Negeri ...............
u/p.
Majelis Hakim
Yang menerima
perkara No. ..........
Di Jakarta
Dengan hormat,
Untuk dan atas
nama Penggugat Konpensi /Tergugat Rekopensi bersama ini disampaikan Replik
sebagai berikut :
I.
Dalam Konpensi
A. Dalam
Eksepsi
1.
...........................
2.
.............................
3.
..............................
B. Dalam
Pokok Perkara
4. Bahwa Penggugat mohon apa yang diuraikan di atas
termasuk pula dalam bagian ini.
5. Bahwa Penggugat menolak dengan tegas seluruh
dalil-dalil yang dikemukakan Tergugat keculai secara tegas dan nyata diakui
oleh Penggugat.
6.
.....................................
7.
........................................
II.
Dalam Rekopensi
A. Dalam
Eksepsi
1.
........................
2.
......................
B. Dalam
Pokok Perkara
1.
Bahwa Tergugat mohon apa yang diuraikan di atas termasuk
pula dalam bagian.
2.
Bahwa Tergugat menolak seluruh dalil-dalil Penggugat
kecuali yang secara tegas dan nyata diakui oleh Tergugat.
3.
.......................................................
4.
.........................................., dst.
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Penggugat Konpensi /Tergugat
Rekopensi mohon dengan segala kerendahan hati agar Pengadilan Negeri
................... berkenan untuk
memutuskan antara lain :
I.
Dalam Konpensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
....................
2.
....................
B.
Dalam Pokok Perkara
1.
.......................
2.
......................, dst.
II. Dalam
Rekopensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
.....................
2.
...................
B.
Dalam Pokok Perkara
1.
.....................
2.
...................
3.
.........................
Hormat kuasa
Penggugat
Konpensi/ Tergugat Rekopensi.
(
...................................., S.H.)
Duplik
Duplik
merupakan tahapan yang dimiliki tergugat. Dalam membuat duplik tergugat
diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan dalil-dalilnya yang dimuat
dalam jawaban.
Bila
dalam jawaban ada eksepsi yang kemudian eksepsi tersebut ditanggapi oleh
penggugat dalam repliknya, maka tergugat
dalam tahap ini harus memuat dalil-dalil yang pada dasarnya semakin
memperkuat dalilnya semula. Kemudian dalil tersebut dapat merupakan pendapat
doktrin atau yurisprudensi yang berkaitan erat dengan apa yang dikemukakan
dalam dalil tersebut.
Bila
perlu dalil tersebut sekaligus juga harus dapat mematahkan atau setidaknya
melemahkan dalil yang dikemukakan penggugat dalam repliknya.
Kemudian
dalam pokok perkara sama dengan replik ada dua klausul yang harus dimuat.
Pertama, berisi pernyataan agar dalil-dalil yang dikemukakan pada bagian
eksepsi dianggap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya.
Kedua, merupakan pernyatan yang menolak dalil-dali penggugat secara
keseluruhan, kecuali memang ada dalil yang diakui olehnya.
Kemudian
dalil-dalil pada replik harus satu demi
satu dibantah/ditolak atau mungkin diakui oleh tergugat.
Sedang
bentuk petitumnya memakai model yang sama dengan replik namun isinya tentunya
harus bertentangan dengan apa yang dikemukakan pada replik tersebut.
DUPLIK
Rol Perkara
No. /Pdt.G/ /PN .......
Dalam Perkara
antara :
PT.X.................Sebagai Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekonpensi
Lawan
PT.Y
............. Sebagai Penggugat Konpensi
/
Tergugat Rekopensi
---------------------------------------------------
Kepada Yth.
Bapak Ketua
Pengadilan Negeri
...............
u/p.
Majelis Hakim
Yang menerima
perkara No. ..........
Di Jakarta
Dengan hormat,
Untuk dan atas
nama Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekopensi bersama ini mengajukan Duplik,
antara lain , sebagai berikut :
I.
Dalam Konpensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
...................
2.
..................
3.
.......................
B. Dalam
Pokok Perkara
4.
Bahwa Tergugat mohon apa yang diuraikan di atas dianggap
termasuk pula dalam bagian ini.
5.
Bahwa Tergugat menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukakan
Penggugat kecuali yang secara tegas dan nyata diakui oleh Tergugat.
6.
.......................
7.
...............dst.
II.
Dalam Rekopensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
.....................
2.
..................
B.
Dalam Pokok Perkara
3.
Bahwa Penggugat mohon apa yang diuraikan di atas dianggap
termasuk pula dalam bagian ini.
4.
Bahwa Penggugat menolak seluruh dalil-dalil Tergugat
kecuali yang secara tegas dan nyata diakui oleh Penggugat.
5.
................
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Tergugat Konpensi/ Penggugat
Rekopensi mohon diberikan putusan sebagai berikut :
I.
Dalam Konpensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
.................
2.
.................
B.
Dalam Pokok Perkara
1.
.................
2.
..............., dst.
II.
Dalam Rekopensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
..........
2.
............, dst.
B.
Dalam Pokok Perkara
1.
..........
2.
.............., dst.
Hormat Kuasa
Tergugat Konpensi/
Penggugat Rekopensi
(......................................,
S.H.)
Hukum Pembuktian
DASAR HUKUM/PENGATURAN
1. Hierziene
Inlandse Reglement (HIR)
Stb. 1941 No. 44 (untuk jawa dan Madura)
2. Rechtreglement
Buitengewesten (RBg)
Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan
Madura)
3. Reglement
op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4. Buku ke-4
KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5. Ketentuan
setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
a. UU No.
14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
b. UU No.
2/1986 tentang Peradilan Umum.
c. UU No.
14/1985 tentang MA. RI
TEORI
1. Teori
yang bersifat SUBYEKTIF
Dalil-dalil yang didasarkan pada
pelanggaran hak subjektif atau siapa yang menyangkal adanya hak Subyektif harus
membuktikan tiadanya hak subyektif tersebut.
2. Teori
yang bersifat OBYEKTIF
Dalil-dalil yang didasarkan pada
hukum objektif/ UU
3. Teori
yang bersifat KEPATUTAN
Kedudukan Penggugat dan Tergugat
sama (Equality before the law)
4. Teori
HUKUM ACARA
Asas “ Audi et Alteram Partem”
5. Teori
yang bersifat hukum PUBLIK
PENGERTIAN PEMBUKTIAN
1.
Menurut
Prof. Soepomo
-
Dalam arti luas membuktikan berarti,
membenarkan hubungan hukum yaitu memperkuat kesimpulan hakim dengan
syarat-syarat bukti yang sah.
-
Dalam arti terbatas berarti hanya
diperlukan jika apa yang dikemukakan oleh Penggugat itu dibantah Tergugat. Dan
apa yang tidak dibantah oleh Tergugat tidak perlu dibuktikan. Artinya kebenaran
yang tidak dibantah itu, tidak perlu dibuktikan.
2.
Menurut
Prof. Soebekti
Meyakinkan
pada hakim, tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan. Maka terlihat bahwa pembuktian itu hanya diperlukan dalam
persengketaan perkara.
3.
Menurut
Prof. Sudikno Mertokusumo
a.Dalam arti Logos, berdasarkan suatu axioma yaitu suatu
asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian
yang bersifat mutlak yang tidak dimungkinkan adanya bukti lawanDDalam arti
Konvensional, memberikan kepastian nisbi dengan tingkatan-tingkatan,
= Conviction intime, kepastian berdasarkan
atas
perasaan yang bersifat intvitif.
= Conviction Rational, kepastian
yangdidasarkan
pertimbangan awal.
b.Dalam arti Yuridis, Dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan
adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta
menutup kemungkinan akan bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian yang
konvensionil bersifat khusus. Pembuktian
ini hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari
mereka. Maka Pembuktian dalam arti Yuridis, berarti Memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang
memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang peristiwa
yang diajukan.
4.
Dasar
Hukum :
a)
Pasal 163
HIR,
Barang
siapa yang mengatakan mempunyai barang suatu hak, atau menyebutkan suatu
kejadian atau meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka
orang itu harus membuktikan adanya haknya itu atau adanya kejadian itu
b)
Pasal
1865 KUHPerdata,
Setiap
orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
c) Pasal 164
HIR,
Yang disebut alat-alat bukti yaitu :
c.1 Bukti tulisan,
c.2 Bukti saksi,
c.3 Persangkaan,
c.4 Pengakuan,
c.5 Sumpah.
d) Pasal
1866 KUHPerdata,
Yang disebut alat-alat bukti yaitu :
d.1 Bukti tulisan,
d.2 Bukti saksi,
d.3 Persangkaan,
d.4 Pengakuan,
d.5 Sumpah.
BUKTI TULISAN
PASAL 1867 KUHPerdata;
Pembuktian
dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan
tulisan-tulisan dibawah tangan.
PASAL 1868 KUHPerdata;
Suatu
akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat dimana akta dibuat.
PASAL 1874 KUHPerdata;
Sebagai
tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah
tangan, surat-surat, register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain
tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum ..........
Kekuatan
Pembuktian akta :
1. Akta
otentik, Pembuktian sempurna (Ps. 1870 KUHPer, 165 HIR, 285 RBg)
2. Akta
dibawah tangan,
-
Diakui, Ps. 1875 KUHPer, Pembuktian
sempurna.
-
Dipungkiri, Ps. 1877 KUHPer, diperiksa
dipersidangan oleh hakim
PEMBUKTIAN DENGAN SAKSI
1.
DASAR
HUKUM
Pasal 139
s.d. 152, Ps. 168 s.d. 178 HIR,
Pasal 165
s.d. 179 RBg.
Pasal
1895, Pasal 1902 s.d. 1912 KUHPerdata.
2.
PENGERTIAN
Kesaksian
adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di depan persidangan tentang
peristiwa yang disengketakan dengan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.
Keterangan
tentang peristiwa atau kejadian itu yang dialaminya sendiri, sedang pendapat
atau dugaan yang diperoleh dari berpikir tidak merupakan kesaksian.
3. LARANGAN SEBAGAI SAKSI
a.
Absolute
Ø
Keluarga sedarah atau semenda menurut
keturunan lurus dari salah satu pihak. (Pasal 145 ayat (1) HIR., Pasal 172 ayat (1) RBg., Pasal 1910
ayat (1) KUHPerd.)
Ø
Suami atau isteri salah satu pihak,
walaupun sudah bercerai (Pasal 145 ayat 1 sub 3, 4 HIR., Pasal 172 ayat 1 sub 3
RBg., Pasal 1910 KUHPerd..)
Pengecualian
:
-
Kedudukan keperdataan salah satu pihak,
- Mengenai nafkah yang belum dibayar
menurut Buku I
- Alasan pembebasan atau pemecatan
kekuasaan orang
tua/ wali;
- Perkara
persetujuan perburuhan.
b. Relatif (sebagai petunjuk tidak disumpah)
Ø
Anak kurang dari 15 tahun (Ps. 145 ayat 1,
3 sub 4 HIR, Ps. 172 ayat 1 sub 5 RBg, Ps. 1912 KUHPerd.)
Ø
Orang gila (Ps. 145 ayat 1 sub 4 HIR, Ps.
172 ayat 1 sub 5 RBg, Ps. 1912 KUHPerd.)
.
PERSANGKAAN
1.
DASAR
HUKUM
-
Ps. 1915 s.d. Ps. 1922 KUHPerd.
-
Ps. 173 HIR
2. PENGERTIAN
Persangkaan
ialah kesimpulan yang oleh Undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu
peristiwa yang terkenal ke arah suatu peritiwa yang tidak terkenal.
Jenis : (Ps. 1915 KUHPerd.)
-
Persangkaan yang ditetapkan oleh
Undang-undang (Wettelijk vermoden)
-
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim
(Rechtelijk vermoden)
PENGAKUAN
1.
DASAR
HUKUM
-
Pasal. 1923 s.d. 1928 KUHPerdata
-
Pasal 174 HIR
-
Pasal 312 RBg.
2.
PENGERTIAN
Pengakuan
adalah suatu pernyataan akan kebenaran oleh salah satu pihak yang bersengketa,
tentang apa yang dikemukakan oleh lawannya.
3.
MACAM ;
(Ps. 1923 KUHPerd.)
Ø
Menurut
Undang-undang
a. Di muka
hakim
-
Merupakan bukti sempurna (Ps. 1925 KUHPerd.)
-
Tak dapat ditarik (Ps. 1926 KUHPerd.)
b. Di luar
sidang
- Diikuti
saksi-saksi (Ps. 1927 KUHPerd.)
Ø
Menurut
Ilmu Pengetahuan
-
Pengakuan murni,
-
Pengakuan dengan Klausula
-
Pengakuan dengan Kwalifikasi
SUMPAH
1.
DASAR
HUKUM
-
Pasal 155 s.d. 158 HIR,
-
Pasal 17, Pasal 182 s.d. 185 RBg.
-
Pasal 1929 s.d. 1945 KUHPerd.
2.
PENGERTIAN
Sumpah adalah pernyataan khidmat
yang dilakukan oleh salah stu pihak yang berkaitan dengan agamanya.
3.MACAM
Sumpah Pemutus (decissoir)
Sumpah Tambahan (supletoir)
Penerapan Pembuktian
Pembuktian dilakukan setelah para
pihak melaksanakan tahap replik dan duplik telah selesai dilakukan. Kesempatan
pembuktian pertama diberikan kepada Penggugat lebih dulu.Dalam praktek
kadang-kadang baik bukti tertulis maupun saksi-saksi m baru kemudian tergugat.
Namun ada juga bukti tertulis lebih dulu diberikan kepada penggugat baru
tergugat, kemudian pemeriksaan saksi-saksi dari penggugat setelah itu baru
tergugat. Kalau diperlukan baik atas usulan salah satu pihak atau atas
pertimbangan majelis hakim dapat juga dihadirkan saksi ahli.Dalam kasus
tertentu juga kadangkala ada sidang ditempat lokasi kejadian terjadinya obyek
perkara.
Contoh akta pembuktian /daftar bukti
Daftar
Bukti Penggugat
Rol
perkara No…../Pdt. G/2000/PN……….
1. Bukti P-1 : Kwitansi jual beli antara penggugat
dengan tergugat
sebesar Rp.
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
2. Bukti P-2 :
Bukti Giro yang ditolak beserta keterangannya.
3. dst……..
4. ……..
Hormat kuasa,
(…………………….)
Daftar Bukti Tergugat
Rol
perkara No…./Pdt.G/2000/PN……….
1. Bukti T-1 :
Akta Notariil Jual beli natara tergugat dengan
penggugat yang dibuat
diNotaris/PPAT Krayoso,
SH., No3 tanggal………
2. Bukti T-2 : Surat
somasi tergugat tertanggal………
dst
Hormat kuasa,
(…………………….
PUTUSAN
PENGERTIAN
Di bawah ini merupakan pengertian
putusan hakim atau pengadilan menurut:
1.
Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa
keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan
putusan hakim itu disebut vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir
mengenai hukum dari hakim serta memuat akibat-akibatnya.[13]
2.
Bab I pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara
Perdata menyebutkan putusan pengadilan adalah : suatu putusan oleh hakim,
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman,
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan
serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.
3.
Ridwan Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan
adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka
untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata.[14]
4.
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., memberi batasan
putusan hakim adalah : suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang
diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.[15]
Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1/1962 tanggal 7
Maret 1962 menginstuksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan
tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan
hakim di depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.
Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk
umum bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka terhadap putusan tersebut
terancam batal, akan tetapi untuk penetapan hal tersebut tidak perlu dilakukan
.
Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh ketua sidang dan
panitera yang memeriksa perkara tersebut. Berdasarkan pasal 187 HIR apabila
ketua sidang berhalangan menandatangani maka putusan itu harus ditandatangani
oleh hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya,
sednangkan apabila panitera yang berhalangan maka untuk hal tersebut cukup
dicatat saja dalam berita acara.
Berdasarkan pasal 184 HIR suatu putusan hakim harus berisi :
a. Suatu
keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban.
b. Alasan-alasan
yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim.
c. Keputusan
hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara.
d. Keterangan
apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan.
e. Kalau
keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan.
f. Tandatangan
hakim dan panitera.
Berdasarkan pasal 23 UU No.
14/1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari perturan–peraturan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
BAGIAN PUTUSAN
Suatu
putusan pengadilan pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
1) Kepala
Putusan
Setiap putusan pengadilan harus
mempunyai kepala putusan yang berbunyi : “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 ayat (1) UU No.
14/1970). Tulisan tersebutlah yang membuat suatu putusan mempunyai kekuatan
eksekutorial, karena bila dapat suatu putusan tidak terdapat tulisan tersebut
maka putusan pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan (Pasal 224 HIR).
2) Identitas
pihak-pihak yang berperkara
Dalam
putusan pengadilan identitas para pihak yang berperkara harus dimuat
secara
jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan dan sebagainya, serta nama kuasanya bila
yang bersangkutan mengkuasakan kepada orang lain.
3) Pertimbangan
(alasan-alasan)
Bagian ini merupakan dasar dari suatu putusan terdiri dari
2 (dua) bagian yaitu, pertimbangan tentang duduk perkaranya (Feitelijke
gronden) adalah tentang apa yang terjadi di depan pengadilan seringkali gugatan
dan jawaban dikutip secara lengkap dan pertimbangan hukum (rechts gronden) yang
menentukan nilai dari suatu putusan.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 638
k/Sip/1969, tanggal 22 Juli 1970 jo No. 492 k/Sip/1970, tanggal 16 Desember
1970, menyatakan bahwa jika suatu putusan pengadilan kurang cukup
pertimbangannya, hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi
yang berakibat batalnya putusan tersebut.Sedangkan putusan MARI No. 372
k/Sip/1970, tangal 1 September 1971 menyatakan bahwa putusan pengadilan yang
didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan haruslah
dibatalkan.
4) Amar
(dictum) putusan
Putusan MARI No. 104 k/Sip/1968,
menyatakan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan, baik dalam
kopensi maupun dalam rekopensi, bila tidak maka putusan tersebut harus
dibatalkan. Walaupun demikian hakim tidak boleh menjatuhkan putusan terhadap
sesuatu yang tidak di tuntut (pasal 178 HIR, MARI No. 399 k/Sip/1969 tanggal 21
Februari 1970 dan MARI No. 1245 k/Sip/1974, tanggal 9 November 1976).
PENGGOLONGAN PUTUSAN
Putusan dapat di golongkan
menjadi :
1. Putusan
Sela (Tussenvonnis)
Merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir
dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan
perkara. Semua putusan sela diucapakan dalam sidang dan merupakan bagian dari
berita acara persidangan. Terhadap salinan otentik dari putusan sela tersebut
kedua belah pihak dapat memperolehnya dari berita acara yang memuat putusan
sela tersebut.
Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam putusan
sela yaitu :
a. Putusan
Preparatoir.
Adalah
putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna melancarkan proses
persidangan hingga tercapai putusan akhir.
b. Putusan
Interlocutoir.
Adalah
putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, isi putusan ini mempengaruhi
putusan akhir.
c. Putusan
Incidentieel
Adalah
putusan yang berhubungan dengan insiden, yitu peristiwa yang menghentikan
prosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan dengan pokok perkara,
masih bersifat formil belum menyangkut materil suatu perkara.
d. Putusan
Provisionieel
Adalah
putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara
supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatuhkan.
2. Putusan
Akhir (eindvonnis)
Merupakan putusan yang mengakhiri perkara perdata pada
tingkat pemeriksaan tertentu.
Putusan akhir menurut sifat amarnya (dictumnya), dapat
dibedakan atas tiga jenis yaitu :
a. Putusan
Declaratoir
Adalah putusan yang menyatakan
suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini
bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
b. Putusan
Constitutief
Adalah
putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru tersebut
dapat berupa meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan
hukum yang baru.
c. Putusan
Condemnatoir
Adalah
putusan yang bersifat menghukum para pihak yang dikalahkan untuk memenuhi
prestasi.
Dalam praktek sehari-hari dalam suatu putusan akhir terdapat beberapa
jenis sifat putusan, seperti gabungan antara putusan yang bersifat declaratoir
dan condemnatoir atau antara putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif
dan sebagainya.
PUTUSAN PERDAMAIAN
Merupakan putusan yang dijatuhkan hakim yang isinya menghukum para pihak
yang berperkara untuk melaksanakan isi perjanjian perdamaian yang sebelumnya
telah disetujui oleh para pihak.
Berdasarkan pasal 130 ayat (2) HIR jo Putusan MARI No. 1038 k/Sip/1973,
tanggal 1 Agustus 1973 putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama seperti
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
PUTUSAN GUGUR
Putusan gugur dijatuhkan kepada Penggugat oleh hakim dalam hal Penggugat
tidak hadir pada hari sidang pertama tanpa alasan yang sah dan tidak pula
menyuruh wakilnya untuk hadir padahal penggugat telah dipanggil secara sah dan
patut (Pasal 124 HIR).
Tentang pemanggilan yang sah dan patut telah diatur dalam HIR pasal 122,
388-390 HIR. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan gugar maka
hakim harus terlebih dahulu dengan teliti memeriksa berita acara pemanggilan
para pihak terutama pihak Penggugat. Bila hakim menemukan bahwa panggilan yang
dilakukan oleh juru sita sebelumnya tidak memenuhi syarat pemanggilan yang sah
dan patut maka hakim harus memerintahkan pada juru sita untuk mengadakan
pemanggilan kembali.
Dalam menjatuhkan putusan agar
hakim tidak mempertimbangkan pokok perkara karena memang hakim belum memeriksa
pokok perkara gugatan melainkan putusan tersebut dijatuhkan untuk kepentingan
tergugat yang hadir di persidangan yang telah mengorbankan tenaga, waktu dan
biaya sedang Penggugat sendiri yang lebih berkepentingan terhadap gugatannya
tidak hadir di persidangan.
Apabila penggugat hanya hadir pada sidang hari pertama maka terhadap
gugatan penggugat tidak dijatuhi putusan gugur melainkan diputus secara
contradictoir.
PUTUSAN VERSTEK
Putusan verstek merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim karena tergugat
tidak hadir pada hari sidang pertama dan tidak mengirimkan wakilnya yang sah
walaupun telah dipenggil secara sah dan patut (pasal 125 HIR).
Apabila dalam suatu gugatan terdapat lebih dari satu tergugat dan salah
satu tergugat datang pada hari sidang pertama atau bila tergugat atau kuasanya
tidak hadir pada hari sidang pertama tetapi mengirimkan jawaban terhadap
gugatan penggugat maka terhadap gugatan penggugat tersebut tidak dapat diputus
secara verstek melainkan secara contradictoir.
Pasal 125 ayat (1) HIR memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu putusan verstek dapat dikabulkan :
1. Tergugat
atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah
ditentukan.
2. Ia atau
mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap
3. Ia atau
mereka kesemuanya telah dipanggil secara saah dan patut
4. Petitum
tidak melawan hukum
5. Petitum
beralasan.
PUTUSAN SERTA MERTA
Putusan serta merta merupakan suatu putusan yang dapat dilaksanakan
terlebih dahulu (uit voerbaar bij
voorraad) walaupun terhadap putusan tersebut ada upaya hukum lain (baik upaya
hukum biasa maupun luar biasa).Putusan ini diatur dalam pasal 180 ayat (1) HIR
yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya putusan
dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan (verzet) atau banding, jika :
a. Ada surat otentik atau
tulisan di bawah tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
b. Ada putusan
pengadilan sebelumnya yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang menguntungkan
pihak penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan.
c. Ada gugatan
provisionil yang dikabulkan.
d. Dalam
sengketa-sengketa mengenai bezitrechts.
Pada praktek putusan uit voerbaar
bij voorraad sangat sulit dikabulkan karena banyak menimbulkan kesulitan.
UPAYA HUKUM
PENGERTIAN
Upaya hukum adalah upaya yang
diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal
tertentu melawan putusan hakim.
Dalam teori dan praktek kita
mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum
luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya
hukum biasa menangguhkan eksekusi
(kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta
mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.
UPAYA HUKUM BIASA
Upaya hukum biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.
1. BANDING
PENGERTIAN
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh
salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan
Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan
banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada
Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan
Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali
terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.
DASAR HUKUM
Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan
Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan
Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo
pasal 5 UU No. 1/1951 (Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR
dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang
Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.[16]
Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan
pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan
upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.[17]
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING
Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak
putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan
apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat
(1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar
hukum yang biasa digunakan adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka
terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi
karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal
25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui
tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang
diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan.
Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh
lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima
untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk
kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima
(Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN
BANDING
1. Dinyatakan
dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan
terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
2. Permohonan
banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang
berkepentingan maupun kuasanya.
3. Panitera
Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal
diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding.
Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan
Register Banding Perkara Perdata.
4. Permohonan
banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat
14 hari setelah permohonan banding diterima.
5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas
perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6. Walau
tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan
pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada
jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh
Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7. Pencabutan
permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan
oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.
2. KASASI
PENGERTIAN
Kasasi
merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas
dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan “casser” yang berarti memecahkan atau
membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan
dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung,
maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap
mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.[18]
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai
hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya
sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai
pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui
batas wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan
dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa
terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar
hukum yang berlaku.
Yang dimaksud
disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum
materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh
Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau
dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan
oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh pertauran
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari
setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada
Pemohon (pasal 46 ayat(1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan
kasasi tidak dapat diterima.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN
KASASI
1. Permohonan
kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan
kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi
biaya kasasi.
2. Pengadilan
Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga
membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3)
UU No. 14/1985)
3. Paling
lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri
memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No.
14/1985)
4. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah
permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori
kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No.
14/1985)
5. Panitera
Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat
30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
6. Pihak
lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak
tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7. Setelah
menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera
Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal
48 ayat (1) UU No. 14/1985)
3. VERZET
PENGERTIAN
Verzet
merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal
129 ayat (1) HIR
1. Dalam
waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat
sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
2. Perlawanan
boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang
tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3. Dalam delapan
(8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).[19]
Dalam prosedur verzet kedudukan
para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat
sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan
pembuktian.[20]
Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan
verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap
upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus
menempuh upaya hukum banding.
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
1. PENINJAUAN
KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP
Upaya hukum peninjauan kembali
(request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam
tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah
berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan
Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat
akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang
tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan. [21]
Peninjauan kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan
diatur dalam RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan
eropa) pasal 385 dan seterusnya. Dalam
perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15
UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud
oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil (RC) antara lain, sebagai berikut:
1) Bahwa PK
merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada
putusan yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
2) Akibatnya
adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir,
sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3) Bahwa PK dapat
diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah
menjadi pihak dalam perkara tersebut.[22]
Dalam
perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14
tahun 1985.
ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan
pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut
:
a) Apabila
putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b) Apabila
setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan
yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c) Apabila
telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut.
d) Apabila
antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang
sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan
yang bertentangan satu dengan yang lain.
e) Apabila
mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya.
f) Apabila
dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan
permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah
hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau seorang wakilnya
yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat
bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat
mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang waktu mengajukan
permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN
KEMBALI
1) Permohonan
kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua
Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2) Membayar
biaya perkara.
3) Permohonan
Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4) Bila
permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan
yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No.
14/1985)
5) Bila
diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan
dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang
ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang
permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6) Hendaknya
surat
permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena
permohonan ini hanya dapat diajukan
sekali.
7) Setelah
Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera
berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut
kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat
diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8) Pihak
lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk
membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72
ayat (2) UU No. 14/1985).
9) Surat jawaban
diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta
tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon
untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10)permohonan
peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan
kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11)Pencabutan
permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi
permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No.
14/1985)
2. DERDEN
VERSET
Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan
oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupak perlawanan
pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa
dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat mengajukan derden verzet ini adalah
pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak
perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut. Secara singkat
syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar
karena putusan tersebut.
Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat
mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).
DAFTAR
PUSTAKA
Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan. Cet. 1,
Jakarta : Sinar
Grafika, 1994.
Soetantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata.
Hukum Acara Perdata dalam teori dan
Praktek. Cet.8. Jakarta : CV. Mandar Maju,1997.
Subekti,
R. Hukum Acara Perdata,Cet. 2, Bandung :
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997.
Supomo, Prof. Dr. , S.H. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta
: Pradnja Paramita, 1967.
Syahrani, Riduan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Umum. Cet. 1. Jakarta
: Sinar Grafika,1994.
EKSEKUSI
A. PENGERTIAN EKSEKUSI
Menurut M. Yahya H. adalah merupakan tindakan hukum yang
dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara,
merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.[23]
Menurut Prof.R. Subekti adalah
pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati
secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan
eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati
putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya
dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi
bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).[24]
Menurut Djazuli Bachar adalah
Melaksanakan putusan pengadilan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk
mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan
secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan
kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan
eksekusi.[25]
Menurut R. Supomo adalah hukum yang
mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna
membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila
pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang
ditentukan. [26]
B. SUMBER HUKUM EKSEKUSI
Hal menjalankan putusan hakim diatur
dalam bahagian kelima mulai pasal-pasal 195 s. d. 224 HIR atau Stb. 1941 No. 44
yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, sedang untuk daerah diluar pulau Jawa
dan Madura digunakan bahagian keempat pasal-pasal 206 s.d. 25 RBg atau Stb.
1927 No. 227. Peraturan ini tidak hanya mengatur tentang menjalankan eksekusi
putusan pengadilan saja akan tetapi juga memuat pengaturan tentang upaya paksa
dalam eksekusi yakni sandera, sita eksekusi, upaya lain berupa perlawanan
(Verzet) serta akta otentik yang memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan
dengan putusan yakni akta grosse hipotik dan surat hutang dengan kepala “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[27]
Dalam Undang-undang (darurat) No. 1
tahun 1951 tidak terdapat perkecualian terhadap berlakunya hukum acara perdata
sehingga berlakulah penuh kedua Undang-undang mengenai acara perdata.[28]
Cara menjalankan putusan pengadilan
yang disebut eksekusi diatas diatur mulai pasal 195 sampai pasal 224 HIR, namun
pada saat sekarang tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku secara
efektif. Yang masih benar-benar berlaku efektif terutama pasal 195 sampai pasal
208 dan pasal 224 HIR. Sedangkan pasal 209 sampai pasal 222 HIR yang mengatur
tentang “Sandera”, tidak lagi diperlakukan secara efektif. Seorang debitur yang
dihukum “Disandera” sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan
pembayaran menurut putusan pengadilan.[29]
Surat Edaran Mahkamah Agung No.2/1964
tanggal 22 Januari 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04/1975 tanggal
1 Desember 1975 membekukan keberlakuan pasal 209 sampai dengan pasal 222 HIR,
karena sandera bertentangan dengan salah satu sila dari dasar falsafah negara
Indonesia, yaitu bertentangan dengan sila Prikemanusiaan, salah satu dari
Pancasila. Oleh karena itu berdasarkan Surat Edarannya diatas Sandera dilarang
untuk diperlakukan (vide putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Pebruari 1975 Reg.
No. 951 K/Sip/1974, termuat dalam “DIAN YUSTISIA’, Pengadilan Tinggi Bandung,
1978, hal. 378-382).[30]
Selain peraturan peraturan di atas
masih ada peraturan lain yang dapat menjadi dasar penerapan eksekusi yaitu :
1.
Undang-undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman,
pasal 33 ayat (4) yaitu tentang kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma
moral, dimana dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya
prikemanusiaan dan prikeadilan tetap terpelihara.
2.
Pasal 33 ayat (3) UU No. 14 tahun 1970 juncto pasal 60 UU
No. 2 tahun 1985 tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa yang melaksanakan
putusan pengadilan dalam perkara perdata adalah panitera dan jurusita dipimpin
oleh Ketua Pengadilan.
3.
Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama diatur dalam Stb.1982 No. 152 pasal 2 ayat
(5) menyatakan, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan
biasa tentang menjalankan keputusan-keputusan Pengadilan Umum dalam perkara ini
dan Stb. 1937 No. 63-639, pasal 3 ayat (5) alinea 3 berbunyi, sesudah itu
keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan menjalankan keputusan Sipil
Pengadilan Negeri (Peraturan Pemerintah No. 45/1957 pasal 4 ayat (5) dan
pasal-pasal lain yang berhubungan).
4.
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang
disempurnakan pasal 5 dinyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi.
5.
SEMA No. 4 Tahun 1975 menyatakan bahwa penyanderaan
ditujukan pada orang yang sudah tidak mungkin lagi dapat melunasi
hutang-hutangnya dan kalau disandera dan karena itu kehilangan kebebasan
bergerak, ia tidak lagi ada kesempatan untuk berusaha mendapatkan uang atau
barang-barang untuk melunasi hutangnya.[31]
C. ASAS-ASAS EKSEKUSI
C.1. Menjalankan putusan yang telah
berkekuatan Hukum Tetap.
Tindakan eksekusi biasanya baru
menjadi suatu masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam
tahap eksekusi kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak
Penggugat yang kalah dalam perkara pada lazimnya, bahkan menurut logika tidak
ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status
para pihak dalam suatu perkara. Pihak penggugat bertindak selaku pihak yang
meminta kepada pengadilan agar pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan suatu
barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melakukan sesuatu, menghentikan
sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti itulah yang
selalu terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan oleh
pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat sebagai pihak yang
kalah. Oleh karena itu bila kita berbicara mengenai eksekusi putusan adalah
tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.
Tidak terhadap semua putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, artinya tidak terhadap semua
putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi adalah
putusan yang belum dapat dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dapat dijalankan.
Pada asasnya putusan yang dapat
dieksekusi adalah Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,
karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung
wujud hubungan hukum yang tetap dan
pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara
pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak
yang dihukum (Pihak tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa
dengan bantuan kekuatan umum.[32]
Dari keterangan diatas dapat dikatakan
bahwa, selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum
berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa
terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak
tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela.
Pengecualian terhadap asas ini dimana
eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun
putusan tersebut belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap berdasarkan Undang-undang adalah :
a. Pelaksanaan Putusan lebih dahulu
Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR,
eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun
putusan yang bersangkutan belum memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada Penggugat untuk
mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau
kasasi.
Syarat-syarat yang ditetapkan untuk
mengabulkan putusan serta merta jumlahnya terbatas dan jelas tidak bersifat
imperatif. Syarat-syarat itu berupa :
a.1. Adanya akta otentik atau tulisan tangan yang
menurut Undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
a.2.
a.3.
a.4. Sengketa
yang ada sekarang mengenai bezitsrecht.[33]
|
|
b. Pelaksanaan putusan provisi
Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengemal
putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu
yang bersifat sementara
mendahului putusan pokok perkara.
Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan
provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi)
sekalipun perkara pokoknya belum diputus (mendahului).
c. Akta Perdamaian.
Pengecualian ini diatur dalam
pasal 130 HIR akta perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh hakim dapat
dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap. Maka sejak tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat
pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan putusan
pengadilan yang memutus sengketa.
d. Eksekusi
terhadap Grosse Akta
Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang
dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang
dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap
perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan
bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.[34]
C. 2. Putusan Tidak dijalankan secara Sukarela.
Dua cara menjalankan isi
putusan, yaitu :
C.2.a. Secara sukarela
Pihak yang kalah (tergugat)
memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun,
menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena
pihak tergugat dengan sukarela memenuhi
isi putusan kepada penggugat, berarti
isi putusan telah selesai dilaksanakan maka tidak diperlukan lagi tindakan paksa
kepadanya (eksekusi).
Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara sukarela maka hendaknya pengadilan
membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua
orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut dipenuhi dan
ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan para pihak
sendiri (Penggugat dan Tergugat).
Maksudnya agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim.
Keuntungan menjalankan amar putusan secara sukarela adalah terhindar dari
pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral.
C.2.b. Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi
Terjadi bila pihak yang kalah
tidak mau menjalankan amar putusan secara sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang
disebut eksekusi agar pihak yang kalah
dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.
Pengadilan dapat mengutus
jurusita Pengadilan untuk melakukan
eksekusi bahkan bila diperlukan
dapat dimintakan bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus
ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal,
disamping itu dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.
C.3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat
kondemnator
Maksud putusan yang bersifat
kondemnator adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur
“Penghukuman”, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi (Non-eksekutabel).
Menurut sifatnya amar atau
diktum putusan dapat dibedakan dalam
tiga macam, yaitu :
a)
Putusan Condemnator,
yaitu yang amar putusannya berbunyi “ Menghukum dan seterusnya”;
b)
Putusan Declarator,
yaitu yang amar putusannya menyatakan suatu keadaan sebagai sesuatu keadaan
yang sah menurut hukum, dan
c)
Putusan yang Konstitutif,
yaitu yang amarnya menciptakan suatu
keadaan baru.[35]
Putusan
yang bersifat kondemnator biasanya terwujud
dalam perkara yang berbentuk Contentiosa (kontentiosa) dengan ciri-ciri
:
1.
2.
3.
|
Berupa sengketa
atau perkara yang bersifat partai
Proses
pemeriksaannya berlangsung secara Contradictoir, yakni pihak penggugat dan
tergugat mempunyai hak untuk sanggah menyanggah.[36]
|
C. 4. Eksekusi atas perintah dan
dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR
yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus
oleh satu Pengadilan Negeri, maka eksekusi
atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri
yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan syarat
formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak
diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini
sangat sesuai dengan tujuan penegakan
dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan
tampak jelas dan terinci batas-batas
eksekusi yang akan dijalankan oleh
jurusita dan panitera, disamping hakim
akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.[37]
D. MACAM-MACAM EKSEKUSI
D. 1. Eksekusi yang diatur dalam
pasal 196 HIR dan seterusnya dimana seorang dihukum untuk membayar sejumlah
uang.
Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan dimana
ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka apabila sebelum putusan
dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan,
maka sita jaminan itu setelah dinyatakan
sah dan berharga menjadi sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan
cara melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah
yang harus dibayar menurut putusan hakim dan
ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.
Apabila sebelumnya belum
dilakukan sita jaminan, maka eksekusi
dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak, apabila tidak
cukup juga barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga
cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya-biaya
pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut sita
eksekutorial.
D. 2. Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR, dimana seorang dihukum
untuk
melaksanakan suatu
perbuatan.
Pasal 225 HIR mengatur tentang
beberapa hal mengadili perkara yang
istimewa. Apabila sesorang dihukum untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu
tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim tidak dapat memaksa terhukum untuk
melakukan pekerjaan tersebut, akan tetapi hakim dapat menilai perbuatan
tergugat dalam jumlah uang, lalu tergugat dihukum untuk membayar sejumlah uang untuk mengganti pekerjaan yang harus
dilakukannya berdasarkan putusan hakim terdahulu. Untuk menilai besarnya
penggantian ini adalah wewenang Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dengan demikian maka dapatlah dianggap
bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan
putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti
putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan putusan ini dilakukan oleh
Ketua Pengadilan Negri yang memimpin
eksekusi tersebut, jadi tidak didalam sidang terbuka.
D. 3. Eksekusi riil yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi
tidak diatur
dalam HIR
Perihal ini tidak diatur dalam HIR
pasal 200 ayat(11) yang mengatur lelang menyebut eksekusi riil.
“ Jika perlu
dengan pertolongan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh
orang yang dijual barangnya serta olah sanak saudaranya.”
Pasal ini memberi
petunjuk sedikit tentang bagaimana eksekusi riil harus dijalankan. Pengosongan
dilakukan oleh jurusita apabila perlu dibantu oleh beberapa anggota Polisi atau
anggota Polisi Militer, apabila yang dihukum untuk melakukan pengosongan
rumah itu anggota ABRI misalnya.
Meskipun eksekusi riil tidak diatur
secara baik dalam HIR, eksekusi riil sudah lazim dilakukan, oleh karena dalam
praktek sangat diperlukan.[38]
E. TAHAP-TAHAP/PROSEDUR PERMOHONAN EKSEKUSI GROSSE
AKTA HAK TANGGUNGAN
Sebelum mengajukan
permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri harus
disiapkan surat
permohonan eksekusi. Surat
permohonan eksekusi ini diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan pilihan hukum yang tertera dalam akta Hak
Tanggungan dengan dilampiri dokumen-dokumen hukum yang diperlukan.
Dokumen-dokumen hukum yang diperlukan adalah :
1)
Asli Surat Kuasa dari kreditur yang bersangkutan bila yang
mengajukan permohonan adalah kuasa dari Kreditur.
2)
Copy Perjanjian Kredit dan atau Akta Pengakuan Hutang
beserta perpanjangan-perpanjangannya dan/atau perubahan-perubahan perjanjian
kredit tersebut yang telah di nazegling (Pemateraian di Kantor Pos).
3)
Copy Sertifikat hak atas tanah berikut dengan dokumen
kelengkapannya (Misalnya Ijin Mendirikan Bangunan, jika ada) yang telah di
nazegel Kantor Pos..
4)
Copy Sertifikat Hak Tanggungan (Berikut dengan Akta
Pemberian Hak Tanggungan) yang telah di nazegling.
5)
Copy Surat Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
yang telah di Nazegling (jika ada).
6)
Copy Surat
Peringatan/teguran kepada debitur yang telah di nazegling.
7)
Copy Catatan/ Pembukuan Bank yang membuktikan besarnya
jumlah hutang debitur (Outstanding) yang telah di nazegling.[39]
E.1. AANMANING
Setelah permohonan diajukan dan surat kuasa khusus di
daftarkan dan pengadilan menganggap permohonan tersebut dapat diterima, maka
Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan Aanmaning (Tegoran/peringatan) kepada
Debitur dan atau penjamin. Pengertian Aanmaning dihubungkan dengan menjalankan
putusan menurut M. Yahya H. adalah merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan
Ketua Pengadilan Negeri berupa “Teguran” kepada tergugat agar tergugat
menjalankan isi putusan pengadilan dalam tempo yang ditentukan oleh Ketua
Pengadilan Negeri. Mengenai tenggang waktu peringatan, Pasal 196 HIR menentukan
batas maksimum yaitu delapan (8) hari sejak debitur dipanggil untuk menghadap peringatan
adalah :
1)
Dalam batas waktu yang diberikan diharapkan debitur dapat
menjalankan putusan secara sukarela.
2)
Bila tidak terlaksana, maka sejak itu putusan sudah dapat
dieksekusi dengan paksa.[40]
Isi
teguran harus sesuai dengan seluruh bunyi amar putusan yang bersifat
penghukuman. Peneguran tidak perlu dilakukan dalam sidang terbuka, karena tidak
merupakan pemeriksaan terhadap sengketa lagi dan persoalannya tinggal mengenai
pelaksanaan putusan tentang sengketa itu. Setiap teguran dilakukan dengan membuat
berita acara, maksudnya agar memenuhi syarat yuridis (sebagai alat bukti bahwa
peneguran telah dilakukan).[41]
Berapa orang dan siapa-siapa yang akan
ditegur dapat diketahui dari surat
permohonan yang dalam amar putusan juga dikutip atau dikurangi, akan tetapi
tidak selalu semua yang dihukum sama orangnya dengan pihak-pihak dalam
permohonan. Tereksekusilah sebagai pihak yang sebenarnya bertanggung jawab
untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan putusan dan ia pula yang memikul
tanggung jawab terhadap orang lain yang ada hubungan dengannya sebagai pihak.[42]
Pemanggilan harus memenuhi syarat syah
yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu minimal 3 hari kerja, dan disampaikan
kepada yang berhak atau kepala desa/Lurah setempat bila yang bersangkutan tidak
ada. Pemanggilan yang tidak berhasil dapat diulangi sampai dua kali atau
langsung dilanjutkan proses eksekusinya.[43]
E.2.1. SITA EKSEKUSI
Apabila batas
waktu yang diberikan kepada Debitur dan atau Penjamin untuk menyelesaikan
kewajiban-kewajibannya secara sukarela telah lewat waktu (tidak ada
pelunasan/perdamaian), maka selanjutnya Bank/Kreditur mengajukan permohonan
Sita Eksekusi atas tanah yang dijaminkan tersebut kepada Ketua Pengadilan
Negeri.
Penetapan sita eksekusi merupakan
lanjutan dari penetapan aanmaning, dan harus disusul dengan tahap penetapan
penjualan umum/lelang oleh jawatan tersendiri dan setiap proses dibarengi
dengan tata cara serta syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Secara garis besar
ada dua macam cara peletakan sita yaitu
Sita Jaminan dan Sita eksekusi.
Sita
Jaminan mengandung arti bahwa, untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan
dikemudian hari barang-barang yang disita tidak dapat dialihkan, diperjual
belikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. Ada dua
macam Sita Jaminan yaitu Sita
Conservatoir (Conservatoir beslag)
yaitu sita jaminan terhadap barang-barang milik tergugat baik yang bergerak
atau yang tidak bergerak selama proses berlangsung, terlebih dahulu disita atau
dengan lain perkataan bahwa barang-barang tersebut tidak dapat dialihkan,
diperjual-belikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain.
Jenis Sita Jaminan yang lain adalah Sita
Revindicatoir (Revindicatoir beslag),
yaitu bukan hanya barang-barang tergugat saja yang dapat disita, akan tetapi juga
terhadap barang-barang bergerak milik pihak penggugat sendiri yang ada pada
penguasaan tergugat juga dapat diletakkan sita jaminan.[44]
Sita
Eksekusi adalah sita yang ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara
mempunyai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.[45]
Letak perbedaan yang paling pokok
antara sita jaminan dan sita eksekusi adalah pada tahap proses pemeriksaan
perkara. Pada Sita Jaminan, tindakan paksa perampasan hak untuk ditetapkan
sebagai jaminan kepentingan penggugat dilakukan pada saat proses pemeriksaan
perkara, sedangkan sita eksekusi penyitaan yang bertujuan menempatkan harta
kekayaan tersebut sebagai jaminan kepentingan pembayaran sejumlah uang kepada
penggugat/pemohon dilakukan pada tahap proses perkara yang bersangkutan sudah
mempunyai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan penyitaan
dilakukan pada tahap proses eksekusi.[47]
Makna sita eksekusi yang dapat
dirangkum dari Pasal 197 dengan Pasal 200 ayat (1) HIR, adalah Penyitaan harta
kekayaan termohon/debitur setelah dilampaui tenggang masa peringatan. Penyitaan
sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang harus dibayarkan
kepada pihak pemohon (Kreditur/bank). Cara untuk melunasi pembayaran jumlah
uang tersebut dengan jalan menjual lelang harta kekayaan termohon yang telah
disita. Perampasan harta kekayaan debitur/Termohon eksekusi adalah sebagai dana
pembayaran sejumlah uang yang dihukumkan kepadanya.[48]
E.2.2. TATA CARA SITA EKSEKUSI
1. Berdasarkan Surat Perintah Ketua Pengadilan Negeri
Merupakan syarat formal pertama, surat perintah tersebut
berupa surat
penetapan sita ekseskusi yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri. Sebab timbul
atau keluarnya Surat Penetapan tersebut adalah :
a)
Termohon tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang syah.
b)
Termohon tidak memenuhi putusan selama masa peringatan.
2. Dilaksanakan Panitera atau Juru
Sita
Surat perintah/penetapan sita eksekusi
berisi perintah kepada panitera atau
juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta kekayaan termohon yang
jumlahnya disesuaikan dengan patokan dasar yang ditentukan Pasal 197 ayat (1)
HIR Isi pokok surat perintah sita eksekusi adalah :
·
Penunjukan nama pejabat yang diperintahkan
·
rincian jumlah barang yang hendak disita eksekusi.
Undang-undang memisahkan fungsi Ketua
Pengadilan Negeri dengan panitera atau juru sita. Ketua Pengadilan Negeri
berfungsi sebagai pejabat yang memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi
(Pasal 195 ayat (1) HIR), sedangkan Panitera atau juru sita sebagai pejabat
yang menjalankan eksekusi secara mutlak.
Pejabat yang terlibat dalam eksekusi merupakan satu kesatuan yang utuh, baik
dalam pelaksanaan maupun
pertanggungjawabannya.
3. Pelaksanaan dibantu Dua Orang Saksi
Merupakan syarat formal, baik pada
sita jaminan maupun pada sita eksekusi, sesuai pasal 197 ayat (6) HIR. Bila
syarat ini tidak dipenuhi akibatnya sita eksekusi dianggap tidak sah. Kedua
orang saksi mempunyai fungsi rangkap yaitu berkedudukan sebagai pembantu dan
sekaligus saksi pelaksanaan sita eksekusi. Agar syarat formal terpenuhi maka
kedua orang pembantu yang menyaksikan jalannya pelaksanaan sita eksekusi harus
mencantumkan nama, tempat tinggal, dan pekerjaan kedua saksi dalam berita acara
sita eksekusi. Kedua orang saksi ikut menandatangani asli dan salinan berita
acara sita eksekusi, sebagai syarat sah berita acara Sita Eksekusi. Syarat
penunjukan saksi sesuai Pasal 197 ayat (7) HIR adalah: telah berusia 21 tahun,
berstatus penduduk Indonesia, dan memiliki sifat jujur atau dapat dipercaya,
umumnya diambil dari pegawai Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
4. Sita Eksekusi Dilakukan di Tempat
Berdasarkan Pasal 197 ayat (5),(9) HIR
tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan persyaratan tentang keharusan
pelaksanaan sita dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak di sita.Hal
ini disyaratkan agar panitera atau juru sita dapat melihat sendiri jenis atau
ukuran dan letak barang yang akan disita bahkan harus dapat memastikan bahwa
barang tersebut benar-benar milik termohon, hal ini disebabkan penyitaan
berdasarkan rekaan tidak dibenarkan.
5. Pembuatan Berita Acara Sita
Eksekusi
Merupakan satu-satunya bukti otentik
kebenaran sita eksekusi. Sita eksekusi sebagai tahap awal menuju
penyelesian eksekusi merupakan tindakan
yustisial yang harus bisa dipertanggung jawabkan Ketua Pengadilan Negeri dan
juru sita. Tanpa berita acara, sita eksekusi dianggap tidak pernah terjadi.
Hal penting yang harus tercantum dalam Berita Acara Sita Eksekusi adalah :
·
Memuat nama, pekerjaan, dan tempat tinggal kedua orang
saksi.
·
Merinci secara lengkap semua tindakan yang dilakukan.
·
Ditandatangani Pejabat pelaksana dan kedua orang saksi.
·
Tidak diharuskan hukum ikutnya pihak tersita atau kepala
desa menandatangai berita acara.
·
Pemberitahuan isi berita acara kepada pihak tersita,
maksudnya untuk perlindungan hukum.
6. Penjagaan Yuridis Barang yang
Disita
Berdasarkan Pasal 197 ayat (9) HIR,
penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada ditangan tersita,
sebab bila penjagaan dan penguasaan
barang yang disita diberikan kepada
pemohon sita maka seolah-olah sita itu sekaligus langsung menjadi eksekusi.
Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat
dilaksanakan penjualan lelang. Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di tempat mana
barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain
dengan alasan demi keselamatan barang sitaan. Penguasaan penjagaan disebut
secara tegas dalam berita acara sita,
sebagai syarat formal hak penjagaan.
Sepanjang barang yang habis dalam
pemakaian, tidak boleh dipergunakan
dan dinikmati tersita.
7. Ketidakhadiran Tersita Tidak
Menghalangi Sita Eksekusi.
syarat-syarat
yang paling pokok mendukung keabsahan tata cara sita eksekusi antara lain :
Barang yang disita
benar-benar milik pihak tersita (termohon)
Mendahulukan
penyitaan barang yang bergerak, dan apabila tidak mencukupi baru dilanjutkan
terhadap barang yang tidak bergerak, sampai mencapai batas jumlah yang dihukum
kepada penggugat.
Tata
cara pengumuman Sita Eksekusi, pengumuman ini khusus mengenai sita yang
diletakkan terhadap barang yang tidak bergerak, sedang terhadap barang yang
bergerak tidak diperlukan syarat pengumuman sita (Pasal 198 ayat (1) HIR). Tata
cara yang ditentukan dalam pasal 198 ayat (1) HIR terdiri dari dua instansi,
yaitu :
1.
Mendaftarkan berita acara sita dikantor yang berwenang
untuk itu dengan cara “menyalin” berita acara sita dalam daftar yang ditentukan
:
·
Di Kantor Pendaftaran Tanah (Agraria), apabila tanah
yang disita bersertifikat(Stb.1834 No. 27 Jo. PP No. 10/1961)
|
·
Dikantor kepala desa dalam buku Letter C, apabila
tanah yang disita belum memiliki sertifikat (Stb. 1834 No. 27)
|
·
Mencatat jam, hari, bulan, dan tahun pengumuman
penyitaan
|
2.
|
Pejabat pelaksana sita eksekusi, memerintahkan kepala desa mengumumkan penyitaan barang
yang telah disita dengan cara :
|
·
Pengumuman menurut kebiasaan setempat, dengan maksud
agar penyitaan diketahui secara luas oleh masyarakat sekitarnya.
|
Setelah sita
eksekusi diumumkan dengan cara mendaftarkan berita acara sita dikantor yang
berwenang barulah sita tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat terutama pada pihak ketiga disamping
sita eksekusi tersebut sudah sah secara formal serta kekuatan hukum mengikatnya
berlaku kepada semua pihak. Begitu suatu sita eksekusi dikatakan mempunyai daya
ikat maka terhadap sita eksekusi tersebut tidak dapat tergoyahkan dan mempunyai
kekuatan eksekutorial.[49]
E.3.1. LELANG
Setelah pengadilan
mengeluarkan Penetapan Sita Eksekusi berikut Berita Acara Sita Eksekusi,
dan terhadap pelaksanaan sita eksekusi
itu telah berdaya ikat, maka Bank/Kreditur dapat segera mengajukan permohonan
lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Pengertian lelang berdasarkan Pasal
200 ayat(1) HIR dikaitkan dengan Pasal 1 Peraturan Lelang (LN. 1908 No. 189)
secara terperinci adalah : Penjualan di muka umum harta kekayaan termohon yang telah di sita eksekusi atau
dengan kata lain menjual di muka umum barang sitaan milik termohon (debitur),
yang dilakukan di depan juru lelang atau penjualan lelang dilakukan dengan
perantaraan atau bantuan kantor lelang (juru lelang) dan cara penjualannya
dengan jalan harga penawaran semakin meningkat, atau semakin menurun melalui
penawaran secara tertulis (penawaran dengan pendaftaran).
Pengadilan Negeri yang hendak
melakukan eksekusi pembayaran sejumlah uang harus meminta bantuan kantor lelang
untuk menunjuk seorang pejabat juru lelang menjual barang yang disita (Pasal 1
a Peraturan Lelang LN 1908 No. 189), pengecualian
ketentuan tersebut diatur dalam pasal dan ayat
yang sama yaitu “Dengan peraturan
pemerintah penjualan lelang dapat dibebaskan dari campur tangan juru lelang”.
Pasal 2 LN. 1908 No.189 memberikan hak pada juru lelang untuk menunjuk kuasa menggantikannya,
dan perbuatannya itu tidak membuat batal lelang yang dilakukan.[50]
Penentuan penjual lelang sangat
penting sebab penjual lelanglah yang
berhak menentukan syarat-syarat penjualan lelang (Pasal 200 ayat(1) HIR dan
Pasal 1 b beserta Pasal 21 Peraturan Lelang) yaitu pejabat atau orang yang ditentukan undang-undang dan peraturan yang
diberi kuasa mewakili pemilik untuk menjual lelang suatu barang . Pada
eksekusi penjualan lelang menurut pasal 195, 196 dan 197 ayat(1), serta 224
HIR pihak penjual lelang adalah
Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Negeri. Dengan kata lain undang-undang
memberi kuasa kepada Ketua Pengadilan Negeri menjual lelang barang harta
kekayaan termohon, guna memenuhi pembayaran kepada pihak pemohon. Sedang
menurut Pasal 4 dan 5 UU No. 49 Prp tahun 1960 PUPN bertindak sebagai penjual
mewakili pihak debitur.[51][52]
E.3.2. TATA CARA PENGAJUAN LELANG
Pasal 5 kalimat
pertama Peraturan lelang menyatakan “Seorang
yang bermaksud mengadakan penjualan di muka umum memberitahukan hal itu kepada
juru lelang, dan dalam pemberitahuan itu disebutkan kapan hari penjualan ingin
dilakukan”. Kalimat kedua pasal 5 diatas menegaskan bahwa permintaan lelang
yang diterima kantor lelang ditulis
dalam daftar sehingga yang berkepentingan dapat melihat hal-hal sehubungan
dengan permintaan lelang, tujuannya selain memenuhi fungsi administratif juga
memberi kesempatan bagi pihak yang berkepentingan melihat dan meneliti surat - surat yang bersangkutan. Kalimat ketiga pasal
yang sama menyatakan bahwa pada prinsipnya kantor lelang terikat pada hari yang
ditentukan oleh peminta lelang sepanjang hal itu sesuai dengan aturan khusus
yang dikeluarkan Menteri Keuangan.
Dokumen yang harus disampaikan ke
Kantor Lelang untuk melaksanakan pelelangan berdasarkan grosse akta hak
tanggungan adalah :
·
·
Sertifikat Hak Tanggungan
·
Somasi(Peringatan) min. 30 hari sebelum pelelangan
·
Syarat penjualan lelang dari penjual
|
·
Grosse Akta Hak Tanggungan
·
Sertifikat Tanah
·
Pengumuman lelang 2 kali 15 hari di
·
Jumlah rincian hutang
|
Pasal 7 Peraturan Lelang menegaskan
bahwa juru lelang tidak berwenang menolak permintaan lelang sepanjang
permintaan masih meliputi kawasan daerah hukum kantor lelang yang bersangkutan.
Pasal 200 ayat (4) HIR memberikan hak
kepada pihak tereksekusi dalam hal ini debitur untuk mengatur urutan penjualan
barang yang akan dijual, tetapi hak yang diberikan hanya sebatas itu saja.
Yang berhak menentukan syarat-syarat
lelang adalah penjual lelang yaitu Pengadilan Negeri tetapi pemberian syarat
itu dibatasi oleh Tambahan Lembaran Negara No. 4299 yaitu, harus berpedoman dan
tidak boleh menyimpang dari ketentuan Peraturan Lelang. Hak Penjual Lelang
selain menentukan syarat penjualan adalah menentukan cara pelelangan dan
mengubah cara pelelangan terhadap barang yang telah dilelang, apabila penjual
belum meluluskan penjualan lelang yang bersangkutan. Syarat-syarat lelang yang
diatur dalam Peraturan Lelang No.189 tahun 1908 antara lain :
a)
Penawaran dilakukan melalui pendaftaran (pasal 9 alinea kedua)
dengan menulis nama, pekerjaan dan harga penawaran dengan rupiah dan
ditandatangani oleh yang bersangkutan ke kantor lelang setempat, akan tetapi
ketentuan ini dapat disimpangi.
b)
Seorang peminat hanya dibolehkan mengajukan satu surat penawaran (pasal 9
alinea ketiga).
c)
Peminat menyetorkan panjar lebih dulu, sebagai tanda
kesungguhannya secara lunas tunai dalam jangka waktu tertentu ke tempat penjual
atau kantor lelang.
d)
Bila patokan harga terendah tidak tercapai, penjualan
lelang ditunda dan akan diadakan
pengumuman lelang lanjutan atas biaya debitur.
e)
Bila patokan harga terendah
tidak tercapai lelang dapat
dilanjutkan dengan penawaran langsung (terbuka dan lisan) secara tawaran meningkat atau menurun dan menyerahkan penetuan harga yang patut pada
pihak penjual.
f)
Pembayaran dengan tunai, sesuai pasal 22 Jo.Pasal 29
Peraturan Lelang, berdasarkan praktek diberi batas waktu 24 jam.
Agar syarat penjualan lelang yang sah
secara materil mengikat dan sah secara formal maka,syarat lelang yang
bersangkutan harus dilampirkan pada surat
permohonan lelang ke kantor lelang dan
syarat lelang harus terbuka untuk umum.
Harga patokan terendah adalah
harga yang dianggap sesuai dengan nilai
barang yang ditentukan lebih dahulu (minimal 3 hari sebelum lelang) oleh pengawas Kantor Lelang Negara (Pasal 9
alinea pertama) berdasarkan kepatutan, keadaan atau kondisi barang yang hendak dilelang, faktor ekonomis.
Disamping itu tujuannya adalah sebagai indikator harga penjualan lelang yang
dapat disetujui dan dibenarkan. Tidak adanya patokan harga terendah tidak
menyebabkan lelang menjadi batal, lelang yang telah dilakukan adalah sah
demi melindungi kepentingan pembeli lelang yang beritikad baik.
Pembocoran patokan harga terendah
kepada pihak lain (Pihak penjual, pemohon atau termohon lelang) dari pengawas
kantor lelang mengakibatkan penjualan lelang batal.
Pengumuman lelang merupakan syarat
formal penjualan lelang, tidak terpenuhinya syarat ini menyebabkan lelang batal
demi hukum. Kantor lelang terlebih dahulu akan melakukan pengecekan ke Kantor
Pertanahan atas dokumen-dokumen tanah yang akan dilelang dengan meminta Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), selanjutnya Kantor Lelang mengeluarkan
surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri mengenai tanggal pelaksanaan
lelang.[53]
Pengumuman lelang benda bergerak
diatur dalam Pasal 200 ayat (6) HIR, yaitu jumlah Pengumuman tidak ditentukan,
dilakukan pada waktunya maksudnya adalah dapat dilakukan sesaat setelah sita
eksekusi atau mulai aanmaning bila benda tersebut sudah disita jaminan,
pengumuman dilakukan menurut kebiasaan setempat, akan tetapi perlu diingat
bahwa penjualan lelang paling cepat delapan hari dari tanggal penyitaan barang.
Pengumuman dan penjualan barang yang
tidak bergerak diatur dalam Pasal 200 ayat (9) HIR hanya satu kali melalui
surat kabar selambat-lambatnya 14 hari sebelum hari penjualan. Sedangkan Pasal
200 ayat (7) dikatakan pengumuman penjualan lelang barang yang bergerak jila
bersamaan serentak dengan barang yang tidak bergerak mesti dilakukan 2 kali
berturut-turut dengan selang minimum 15 hari.
tetapi dalam praktek Pengadilan Negeri
menghendaki pengumuman lelang untuk benda tidak bergerak dilakukan 2 kali
dengan selang 15 hari melalui surat kabar, dan pelaksanaan penjualan lelang
sendiri baru bisa dilaksanakan 14 hari
setelah pengumuman kedua.
Bentuk penawaran lelang yang ada dan
biasa digunakan penawaran tertulis, ditulis dalam bahasa Indonesia ,
dengan huruf latin, memuat dengan jelas identitas penawar (nama, pekerjaan, tempat tinggal), ditandatangani
penawar. Apabila patokan harga terendah belum tercapai penawaran dilanjutkan
dengan penawaran lisan dengan syarat yang ditetapkan penjual.[54]
Lelang dilaksanakan di Kantor
Pengadilan Negeri, Kantor Lelang Negera atau di Lokasi tanah dan dipimpin oleh
Panitera Kepala Pengadilan Negeri didampingi oleh Pejabat Kantor Lelang.
Pengaturan risalah lelang terdapat
dalam Pasal 35 Peraturan Lelang. Yang dimaksud dengan risalah lelang adalah
sama artinya dengan “berita acara’ Lelang, yang merupakan landasan otentik
penjualan lelang, tanpa risalah lelang, lelang yang dilakukan dianggap tidak
sah. Risalah lelang mencatat segala peristiwa yang terjadi pada penjualan
lelang.
Yang membuat risalah lelang adalah
juru lelang. Pola rincian isi risalah lelang telah diatur dalam pasal 37
Peraturan Lelang, yaitu terdiri dari :
A. Bagian Kepala,
yang terdiri dari :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Tanggal, bulan
dan tahun “dengan huruf”
Nama kecil juru
lelang atau kuasanya
Nama tempat
kedudukan juru lelang atau kuasanya
Nama kecil
pemohon eksekusi,pekerjaan dan tempat
kediamannya
Nama atau
kedudukan pihak penjual,dan atas dasar apa serta atas nama siapa penjualan
lelang dilakukan, serta uraian tentang keyakinan juru lelang bahwa pihak
penjual memang berhak untuk menjualnya
Tempat di mana
penjualan dilangsungkan
Keterangan
secara umum sifat barang yang hendak dilelang, khusus untuk benda tidak
bergerak disebutkan lokasi, batas, dan status hak kepemilikannya sesuai bukti
kepemilikannya
Uraian tentang
syarat penjualan lelang yang ditentukan oleh pihak penjual
|
B.Bagian Badan,
terdiri dari :
1.
2.
3.
|
Uraian jalannya
pelelangan
Nama, pekerjaan
dan tempat tinggal pembeli lelang (tempat penjualan lelang apabila pembeli tidak tetap tempat
kediamannya)
Besarnya harga
penjualan lelang dengan angka dengan penjelsana bahwa harga itu sesuai atau
tidak dengan patokan harga yang diatur Pasal 9
|
C. Bagian Kaki,
terdiri dari :
1.
2.
|
Menyebutkan
jumlah barang yang laku (terjual)
Menyebut sisa
barang yang ada
|
Bila pembeli bertindak untuk dan atas
nama kuasa maka surat
kuasanya dilampirkan dan dicatat dalam berita acara, sedang bila pemberian
kuasa itu secara lisan maka diterangkan dalam berita acara.
Penandatanganan risalah lelang
berdasarkan pasal 38 Peraturan Lelang ada dua cara yaitu :
1.
Penandatanganan setiap lembar oleh juru lelang yang
bersangkutan (Pasal 28 ayat(1)), bila tidak dilakukan penjualan lelang dapat
dibatalkan.
2.
Agar risalah lelang sempurna sebagai akta otentik, selain
ketentuan diatas pada bagian akhir risalah lelang harus ditandatangani
oleh juru lelang dan pihak penjual.
Ketidak hadiran pihak penjual tidak
mengakibatkan lelang tertunda, cukup dicatat dalam risalah lelang sebagai ganti
tanda tangan pihak penjual yang tidak hadir.[55]
Pembeli dianggap sungguh-sungguh telah
mengetahui apa yang telah ditawar, beli
olehnya. Apabila terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan ia tidak dapat
menarik diri kembali setelah pembeliannya disahkan dan melepaskannya semua hak
untuk meminta ganti kerugian apapun. Pembeli juga tidak boleh menguasai barang yang dibelinya sebelum ia melunasi
uang pembelian yang terdiri dari harga pokok, bea lelang dan uang miskin.[56]
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Chidir.Yurisprudensi Tentang
Hukum Pembuktian Jilid I.
Bandung : Binacipta, cet.I,
1981.
Ali, Chidir.Yurisprudensi Tentang
Hukum Pembuktian Jilid II.
Bandung : Binacipta, cet.I,
1981.
Asser, C. Pengajian Hukum Belanda.
Jakarta : Dian Rakyat,
cet.I, 1991.
-------Rechtspraakkoverzicht
Bewijslastverdeling. Kluwer :
Gouda Quint bv-Arhem, 1995.
-------Bewijslatverdeling. Kluwer
: Gouda Quint bv-Arhem,
1995.
Anser, W.D.H. Perubahan Hukum Acara
Perdata Nederland. (Alih
Bahasa oleh Retnowulan
Sutantio)Jakarta : Bina Justitia,
Mahkamah Agung, 1994.
Bidara.O . et.al. Hukum Acara Perdata. Cet.2. Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 1987.
Binawan Al Andang. Hukum, Hakim, Hikmat Catatan Tambahan Untuk
Prof. Satjipto Rahardjo. Kompas tanggal 1 November 2002.
Budiarto, Ali.Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah
Agung Tentang Hutang Piutang.Cet.1. Jakarta : Ikahi. April 2000.
Bachar,Djazuli. EksekusiPutusan
Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum. Cet. 2. Jakarta : CV. Akademika Pressindo Anggota
IKAPI, 1995
Dijksterhuis H.L.G- Wieten. Bewijsrecht
In Civiele
Procedure. Kluwer : Deventer, Tweede Druk, 1992.
Departemen Hukum dan
Perundang-Undangan. Rancangan UU-RI
Tentang Hukum Acara Perdata.Direktorat Perundangan-Undangan, Tahun
1999/2000.
Dirdjosisworo, Soedjono. Memorandum
Hukum (Media Untuk Melatih Penulisnya Menerapkan Hukum Positif Dalam
Meyelesaikan Perkara). Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Harahap, M. Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Cet. 3. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1991.
Koesmojo, Ida. Peraturan Baru Hukum Pembuktian Dalam
Penyelesaian Perkara Perdata di Nederland. Jakarta : Bina
Justitia, 1994.
Koesnoe, Moh. Dasar-Dasar Ke-Tidak Pastian Hukum
Dalam Tata Hukum Kita Dewasa Ini (Suatu
Lintasan Tentang Dasar Perkembangannya)Majalah
Hukum Varia Peradilan No. 133,Oktober
1996.
Mulyadi, Lilik. Tuntutan Provisionil Dalam Hukum Acara
Perdata Pada
Praktek Pengadilan. Jakarta : Jambatan,
1996.
Mahkamah Agung RI. Abstrak Surat Petunjuk Mahkamah Agung RI
Tahun 1951-1993. Jakarta:1997.
----- Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Buku II.Cet.2.
Proyek Pembinaan Tehnis Yudistisial Mahkamah Agung RI, 1997.
----- Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI, 1996.
----- Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI, 1997.
----- Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI, 1998.
----- Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI, 1999.
----- Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI, 2000.
----- Abstrak Surat Petunjuk
Mahkamah agung RI Tahun 1951-1993. Mahkamah Agung, 1997.
-----Himpunan Pranata Peradilan.Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung RI,
1979.
----- Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tahun 1951-1978. Direktorat
Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, 1979.
------ Pendalaman
Materi Hukum I,II dan III. Proyek Peningkaan Tertib Hukum dan Pembinaan
Hukum Mahkamah Agung RI, 1993.
Subekti, R. Hukum Acara Perdata. Cet. 3. Bandung : Bina Cipta,
1989.
Supomo, R. Hukum
Acara Perdata Pengadilan Negeri. Cet. 9. Jakarta : PT.
Pradnya Paramita, 1986.
Sutantio, Retno Wulan., Iskandar, Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek. Cet. IV. Bandung
: Mandar Maju, 1989.
Sidharta,
Bernard Arief. Refleksi Tentang Struktur
Ilmu
Hukum. Bandung: Mandar Maju,1999.
Satrio, J. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan, Pribadi
Penanggungan
(Borgtoch) Dan Perikatan Tanggung
Menanggung. Bandung : P.T Citra Aditya Bakti, 1995.
Setiawan. Aneka Masalah hukum dan Hukum Acara
Perdata. Bandung : Alumni1992.
MAKALAH
Thomas E. “Masalah Eksekusi Lelang dalam Praktek”. Makalah
disampaikan pada Seminar Hak Tanggungan di Jakarta
Teknis Peradilan Perkara Perdata. Bahan Rapat Kerja Nasional
Mahkamah Agung Republik Indonesia
dengan Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding, Para Kepala Pengadilan Tingkat
Pertama dari Semua Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia .
[1] Surat
Edaran Menteri Dalam Negri No. 14 Tahun 1982 yang ditujukan kepada PPAT seluruh
Indonesia .
[2] Putusan
MA-RI No.531K/Sip/1973 tgl.25 Juli 1974 yang memberi fatwa: “Surat kuasa umum tak dapat dipakai
sebagaimana surat
kuasa khusus untuk berperkara diPengadilan”.
[3]
Tim Redaksi Tatanusa . Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara
kepailitan. Jakarta :PT.
Tatnusa, cet. 1, thn. 1999.
[4]
Soebijakto. Makalah yang disampaikan dalam Program Pendidikan Lanjutan Hukum
Bidang Konsultan Hukum dan Kepengacaraan, September 1992-Januari 1993. FHUI.
[5] Ali
Budiarto. Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Hutang
Piutang.Jakarta: Ikahi, Cet. I., April 2000.
[6] Putusan Pengadilan Negri Suarabaya tanggal.
20 Maret 1979 No. 145/1978/Perdata jo Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya
tanggal. 19 Maret 1984 No. 175/1983/Perdata jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tanggal. 18 Februari 1988 No. 488K/Pdt/1986.
[7] Putusan
MA-RI No. 431 K/Sip/1973 tgl. 9 Mei 1974.
[8] Loc.
Cit.Tim Redaksi Tata Nusa.
[9] Putusan
MA-RI No. 4 K/Rup/1958 tgl. 13 Desember 1958.
[10] Putusan
MA-RI No. 2678 K/Pdt/1992 tgl. 27 Oktober 1994 jo Putusan Pengadilan Tinggi
Aceh No. 41 K/Pdt/1992/PT. Aceh tgl. 13-4-1992 jo Putusan Pengadilan Negri Lhokseumawe
No.477/Pdt/1991/PN. Lhokseumawe tgl. 19Nopember 1991.
[11] Putusan
MA-RI No. 1149 K/Sip/1975 tgl. 17
April 1969 .
[12] Darwan Prinst, S.H. Strategi Menyusun dan Menangani
Gugatan Perdata., PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1992, hal. 156.
[13] Rubini,
S.H. dan Chaidir Ali, S.H. Pengantar
Hukum Acara Perdata,penerbit: Alumni, Bandung ,1974,
hal. 105.
[14] Ridwan
Syahrani, S.H.,Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Umum,penerbit: Pustaka Kartini, Jakarta ,1988, hal. 83.
[15] Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara
Perdata Indonesia,penerbit: Liberty ,Jogyakarta,1993,Hal.
174.
[16] Riduan
Syahrani, Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Umum,cet. 1, (Jakarta :Sinar Grafika,1994), hal. 94,
[17]
Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam teori dan Praktek,cet.8.(Jakarta: CV.
Mandar Maju,1997), hal.149.
[18]
sutantio,op.cit., hal 163.
[19] Supomo,
Prof. Dr.
, S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan
Negeri, (Jakarta, Pradnjaparamita, 1967) hal 39.
[20] Ibid.
[21] R.
Soeroso,Praktik Hukum Acara Perdata, Tata
Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika, 1994),hal.92.
[22] R.
Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet. 2,
(Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997),
hal.171-172.
[23] M.
Yahya Harahap, S.H., Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, (Jakarta:PT. Gramedia,1991),
hal. 1
[24] Prof.
R. Subekti, S.H., Hukum Acara Perdata,
cet. 3, (Bandung; Binacipta, 1989) hal.130.
[25] Djazuli
Bachar, S.H., Eksekusi Putusan Perkara
Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum, hal. 6
[26] Prof.
Dr. R. Supomo, S.H., Hukum Acara Perdata
Pengadilan Negeri, cet. 9, (Jakarta :PT.Pradnya Paramita, 1986), hal 119
[27]
Djazuli, Op.cit., hal 12
[28] ibid
[29] M.Yahya
H. S.H.,Op.cit.,hal 2.
[30] Ny.
Retnowulan Sutantio, S.H., Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
cet. VI.(Bandung:Mandar Maju, 1989), hal. 122
[31] Djazuli
Op.cit, hal. 13-19
[32]
M.Yahya.H. Op.cit. hal 6
[33]
Djazuli, Op.cit.,hal 30
[34] M Yahya
H. Op.cit.,hal. 7-9
[35] Prof.
R.Subekti, S.H., Op.cit, hal 127
[36] M.
Yahya H.Op.Cit., hal 12
[37] ibid, hal 18
[38]
RetnoWulan, Iskandar, Op.cit.,123-122
[39]
wawancara dengan staff DPK- KP Bank Danamon Indonesia .
[40] M.
Yahya H., Op.cit.,hal 26-27
[41]
Djazuli, Op.cit.,hal 74
[42] ibid.,hal 75
[43] Pasal
122dan 390 HIR
[44] Ny.
Retnowulan S., Iskandar Oeripkartawinata, Op.cit.,
hal 91
[45] M.
Yahya H.,Op.cit.,hal 62
[46] Teknis
Peradilan Perkara Perdata, Bahan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Ri dengan
Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding, Para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
dari Semua Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia, (Bandung: 16-20 Januari
1994), hal 30-31
[47] M.
Yahya H. Op.cit., hal 62
[48] ibid.
[49] ibid.,hal 68-92
[50] ibid.,103
[51] ibid.,hal 107
[52]
Op.cit., Djazuli Bachar, hal 64
[53] Thomas
E. Tampubolon, SH, Masalah Eksekusi
Lelang Dalam Praktek, Business Dinner
Meeting AAI, Hotel Grand Hyatt, Jakarta ,
3 Juli 1993.
[54] Op.cit. M. Yahya H., hal102-162.
[55] ibid,hal 189
[56] Bahan
Rapat KerjaNasional Mahkamah Agung RI, Loc.cit.,
hal 44
0 komentar:
Posting Komentar